Sabtu, 20 April 2019

Biografi Husein Mutahar Bapak Paskibraka

Pernahkah anda mendengar lagu Syukur, salah satu lagu nasional indonesia yang sangat syahdu mendengarnya, suatu lagu ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kemerdekaan bangsa indonesia yang telah di raih.

Perlu anda ketahui bahwa pencipta lagu Syukur ini salah satu pendiri Paskibra di indonesia yakni Habib Muhammad Husein bin Salim bin Ahmad bin Salim bin Ahmad Al-Muthahar atau yang lebih dikenal dengan nama Husein Mutahar, lahir di Semarang, Jawa Tengah, 5 Agustus 1916 dan meninggal di Jakarta, 9 Juni 2004 pada umur 87 tahun, beliau salah satu seorang komponis musik Indonesia, terutama untuk kategori lagu kebangsaan dan anak-anak.

Lagu ciptaannya yang populer adalah Hymne Syukur diperkenalkan Januari 1945 dan Mars Hari Merdeka tahun 1946. Karya terakhirnya, lagu Dirgahayu Indonesiaku, menjadi lagu resmi ulang tahun ke-50 Kemerdekaan Indonesia. Dan lagu anak-anak ciptaannya, antara lain: "Gembira", "Tepuk Tangan Silang-silang", "Mari Tepuk", "Slamatlah", "Jangan Putus Asa", "Saat Berpisah", dan "Hymne Pramuka".

Beliau sangat aktif dalam kegiatan kepanduan dan tokoh utama Pandu Rakyat Indonesia, gerakan kepanduan independen yang berhaluan nasionalis. Dan beliau juga dikenal sangat anti komunis. Ketika seluruh gerakan kepanduan dilebur menjadi Gerakan Pramuka, Husein Mutahar juga menjadi salah satu tokoh utama didalamnya. Namanya juga terkait dalam mendirikan dan membina Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka), tim yang beranggotakan pelajar dari berbagai penjuru Indonesia yang bertugas mengibarkan Bendera Pusaka dalam upacara peringatan Hari Kemerdekaan RI. 

Husein Mutahar
Husein Mutahar mengecap pendidikan setahun di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada periode 1946-1947, dan setelah tamat dari MULO B (1934) dan AMS A-I (1938). Pada tahun 1945, Mutahar bekerja sebagai Sekretaris Panglima Angkatan Laut RI di yogyakarta, kemudian menjadi pegawai tinggi Sekretariat Negara di yogyakarta (1947). Selanjutnya, beliau mendapat jabatan-jabatan yang meloncat-loncat antar departemen. Puncak kariernya adalah sebagai Duta Besar RI di Tahta Suci (Vatikan) (1969-1973). Beliau sangat menguasai paling tidak 6 (enam) bahasa secara aktif. Jabatan terakhirnya adalah sebagai Pejabat Sekretaris Jenderal Departemen Luar Negeri (1974).

Sebagai salah seorang ajudan Presiden, Habib Husein Mutahar diberi tugas menyusun upacara pengibaran bendera ketika Republik Indonesia merayakan hari ulang tahun pertama kemerdekaan, 17 Agustus 1946. Menurut pemikirannya, pengibaran bendera sebaiknya dilakukan para pemuda yang mewakili daerah-daerah Indonesia. Ia lalu memilih lima pemuda yang berdomisili di Yogyakarta (tiga laki-laki dan dua perempuan) sebagai wakil daerah mereka.

Pengibaran Bendera Merah Putih 17 Agustus 1946
Pada tahun 1967, sebagai direktur jenderal urusan pemuda dan Pramuka, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Husein Mutahar diminta Presiden Soeharto untuk menyusun tata cara pengibaran Bendera Pusaka. Dan tata cara pengibaran Bendera Pusaka disusunnya untuk dikibarkan oleh satu pasukan yang dibagi menjadi tiga kelompok:

Kelompok 17 sebagai pengiring atau pemandu
Kelompok 8 sebagai kelompok inti pembawa bendera
Kelompok 45 sebagai pengawal.

Pembagian menjadi tiga kelompok tersebut merupakan simbol dari tanggal Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. 

Kisah Husein Mutahar, Bapak Paskibraka yang Selamatkan Bendera Pusaka dari Serangan Belanda
Seiring dengan semakin populernya tugas sebagai seorang Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka), tak banyak yang mengetahui mengenai perjuangan Bapak Paskibraka dalam menyelamatkan bendera merah putih dari serangan Belanda. Pada saat itu, ibukota Indonesia masih berada di Yogyakarta.

Bapak Paskibraka, Husein Mutahar pernah memisahkan bendera pusaka menjadi dua carik kain yang berbeda. Berwarna merah dan putih. Bukan tanpa alasan. Ini dia lakukan demi menyelamatkan bendera pusaka tersebut, setelah Gedung Agung, Yogyakarta dikepung oleh Belanda pada 19 Desember 1948.

Mengutip dari tulisan Purna Paskibraka 1978 Budiharjo Winarno, Presiden Soekarno memanggil Husein Mutahar setelah urusan pemerintahan selesai. Mereka saling bicara di ruangan pribadinya.

Berdasarkan buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams, Soekarno memberikan sebuah tugas pada Husein Mutahar. Dia ingin agar bendera pusaka dijaga sekalipun nyawa menjadi taruhannya. Tugas ini diberikannya secara pribadi pada sang ajudan.

"Ini tidak boleh jatuh ke tangan musuh," kata Bung Karno saat itu.

"Jika Tuhan mengizinkannya, engkau mengembalikannya kepadaku sendiri dan tidak kepada siapapun kecuali pada orang yang menggantikanku sekiranya umurku pendek," kata Soekarno seperti dikutip dari buku tersebut.

Memisahkan Kain Merah dan Putih
Dia menambahkan, apabila Mutahar meninggal di kala tugasnya, dia ingin Mutahar mewariskan tugas tersebut pada orang lain dan harus diserahkan pada Soekarno seorang.

Setelah melakukan doa dan perenungan di kala serangan masih berlangsung, Mutahar segera mencabut benang jahitan yang menyatukan kain merah dan putih pada bendera itu. Dengan menggunakan jarum dan dibantu oleh Perna Dinata, dia melepaskannya dengan hati-hati.

Bendera yang telah dijahit Fatmawati itu akhirnya berhasil dipisahkan menjadi dua kain yang berbeda. Hal ini untuk menghindari penyitaan oleh Belanda.

Bung Karno dan Bung Hatta akhirnya di asingkan ke Sumatera. Sementara, Husein Mutahar dan beberapa staf kepresidenan juga diasingkan ke Semarang dan ditahan di sana. Namun, dua kain bendera tersebut tetap aman.

Husein Mutahar akhirnya berhasil melarikan diri ke Jakarta. Dia meminta seseorang menjahitkan kembali dua bagian bendera pusaka tersebut untuk kemudian dikirimkan ke Bangka lewat Sujono, seorang delegasi Indonesia.

Sang Saka Merah Putih akhirnya berhasil dikembalikan kepada Soekarno. Bendera buatan istrinya itu berhasil kembali ke tangannya.

H. Husein Mutahar selama hidupnya ia tidak pernah menikah, namun mempunyai 8 anak semang (6 laki-laki dan 2 perempuan). Sebagian merupakan ”se­rahan” dari ibu mereka yang janda atau bapak me­reka beberapa waktu sebelum meninggal dunia. Adapula bapak/ibu yang sukarela menyerahkan anaknya untuk diakui sebagai anak sendiri. Semua sudah beru­mah tangga dan mempunyai 15 orang cucu (7 laki-laki dan 8 perempuan). Beliau meninggal dunia di Jakarta pada usia hampir 88 tahun, 9 Juni 2004, dan di makamkan di Pemakaman Jeruk Purut, Jakarta Selatan.

1 komentar: