PERISAI MUKMIN CHANNEL YOUTUBE

Channel youtube berbagi kumpulan shalawat nabi dan dzikir serta kisah islami

SHALAWAT NAJIYATUL QUBUR

Sholawat penyelamat dari siksa kubur ijazah Al-Habib Muhammad bin Ali Al-Habsyi Shohibul Maulid Simtudduror, diamalkan dibaca satu kali ketika ziarah kubur dan buat yang masih hidup bisa dibaca satu kali setiap hari.

SHALAWAT DARI AL-ARIF BILLAH KH. IMAM KHOLIL BIN SYEKH SYU'AIB BIN ABDUL ROZAQ SARANG REMBANG

Keutamaannya jika dibaca satu kali sebanding dengan membaca kitab Sholawat Dalail Al-Khoirot seratus ribu kali dan membebaskan dari sentuhan api neraka.

FILM-FILM LAWAS INDONESIA

Koleksi berbagai film lawas indonesia era 70 hingga 90an, baik film laga dan komedi

Ijazah Membuka Sesuatu yang tertutup

Ijazah amalan dari Habib Syech untuk membuka sesuatu yang tertutup

KEUTAMAAN DAN BERKAH MANDI DI WAKTU FAJAR

keistimewaan mandi fajar yaitu mandi pada pagi hari sebelum adzan subuh yang sebagian orang tidak mengetahuinya.

HAJAT TERKABUL DENGAN ISTIQOMAH SHALAT TASBIH

Memohon hajat yang sulit agar terkabul dengan barokah melaksanakan shalat tasbih

Selasa, 08 September 2015

Riwayat dan Karomah Mbah Ma’shum Lasem

Riwayat Mbah Ma’shum Lasem
Mbah Kyai Ma'shum-Lasem
Mbah Ma'shum
Kyai besar dan Wali Allah yang amat dihormati dikalangan umat Islam ini, yang biasa disapa Mbah Ma’shum, adalah salah satu dari dua “Gembong Kyai” asal Lasem selain Kyai Baidhowi Abdul Aziz. Beliau senantiasa menjalin silaturahmi, jujur, mengayomi, menghormati tamu dan teguh menjaga kebenaran. Seluruh hidupnya diabdikan kepada masyarakat, terutama kaum papa. Beliau bahkan menganggap pengabdian ini sebagai laku tarekatnya. Menurut Denys Lombard, ahli sejarah terkenal, "Mbah Masum" adalah seorang guru (kyai) dari Lasem yang kurang dikenal di tingkat nasional, namun kematiannya pada tahun 1972 menimbulkan guncangan hebat dari satu ujung jaringan ke ujung jaringan lainnya.”

Nama aslinya adalah Muhammadun, diperkirakan lahir sekitar tahun 1870. Ayahnya bernama Ahmad, seorang saudagar. Dari jalur ayahnya, beliau masih punya hubungan darah dengan Sultan Minangkabau, dan silsilahnya bersambung hingga ke Rasulullah SAW. Ibunya bernama Nyai Qosimah. Mbah Ma’shum punya dua saudara, yakni Nyai Zainab dan Nyai Malichah. Sejak kecil Mbah Ma'shum telah dikirim ke beberapa pesantren untuk mendalami ilmu agama, di antaranya kepada Kyai Nawawi Jepara, Kyai Ridhwan Semarang, Kyai Umar Harun Sarang, Kyai Abdus Salam Kajen, Kyai Idris Jamsasren Solo, Kyai Dimyati Termas, Kyai Hasyim Asy'ari Jombang dan Kyai Kholil Bangkalan. Di Mekah beliau berguru kepada Syekh Mahfudz Al-Turmusi dari Termas. Tanda-tanda keutamaan Mbah Ma'shum telah diketahui secara kasyaf oleh Mbah Kholil Bangkalan, seorang wali Qutub yang amat masyhur. Dikisahkan, sehari sebelum kedatangan Mbah Ma'shum ke Bangkalan, Mbah Kholil menyuruh para santri membuat kurungan ayam. Kata Mbah Kholil, "Tolong aku dibuatkan kurungan ayam jago. Besok akan ada ayam jago dari tanah Jawa yang datang kesini".

Begitu Mbah Ma'shum datang, yang saat itu usianya sekitar 20-an tahun, beliau langsung dimasukan ke kurungan ayam itu. Mbah Ma'shum disuruh oleh Mbah Kholil untuk mengajar kitab Alfiyah selama 40 hari. Yang aneh, pengajaran dilakukan oleh Mbah Ma'shum di sebuah kamar tanpa lampu, sedangkan santri-santrinya berada di luar. Mbah Ma’shum hanya 3 bulan di Bangkalan. Ketika hendak pulang, Mbah Kholil memanggilnya dan didoakan dengan doa sapu jagad. Lalu, saat Mbah Ma'shum melangkah pergi beberapa meter, beliau dipanggil lagi oleh Mbah Kholil dan didoakan dengan doa yang sama. Hal ini terjadi berulang hingga 17 kali.

Mbah Ma'shum menikah dua kali, nama istri pertama ada beberapa versi, sedangkan istri kedua adalah Nyai Nuriyah. Putra pertama Mbah Ma'shum, Kyai Ali Ma'shum, kelak menjadi pemimpin Pesantren Munawwir Krapyak, Yogyakarta, dan menjadi salah satu tokoh NU yang terkenal di tingkat nasional.

Sejak muda Mbah Ma'shum sudah hidup zuhud. Beliau sempat menjadi pedagang baju hasil jahitan Nyai Nuri, juga berjualan nasi pecel, lampu petromak, sendok, garpu, konde dan peniti. Sembari berdagang beliau juga menyempatkan diri untuk mengajar umat dan secara rutin berkunjung ke Tebu ireng untuk mengaji kepada Kyai Hasyim Asy’ari, walau dari segi usia Mbah Ma’shum lebih tua. Mbah Ma’shum berhenti berdagang setelah bermimpi bertemu Rasulullah beberapa kali, di mana Kanjeng Rasul menasihatinya agar meninggalkan perdagangan dan beralih menjadi pengajar umat. Mimpi itu terjadi di beberapa tempat, di stasiun Bojonegoro, saat antara tidur dan terjaga, beliau berjumpa Kanjeng Rasul yang memberinya nasihat La khayra illa fi nasyr al-ilmi (Tiada kebaikan kecuali menyebarkan ilmu). 

Beliau juga bermimpi bersalaman dengan Kanjeng Rasul, dan setelah bangun tangannya masih berbau wangi. Beliau juga bermimpi bertemu nabi sedang membawa daftar sumbangan untuk pembangunan pesantren, dan berpesan kepada Mbah Ma’shum, “Mengajarlah … dan segala kebutuhanmu Insya Allah akan dipenuhi semuanya oleh Allah.” Ketika dikonsultasikan dengan Kyai Hasyim Asy’ari, yang biasa memanggil Mbah Ma'shum dengan sebutan Kangmas Ma'shum karena sudah amat akrab, mengatakan mimpi itu sudah jelas dan tak perlu lagi ditafsirkan. Setelah mimpi-mimpinya itulah beliau menetap di Lasem dan istiqamah mengajar. Sebelum mendirikan pesantren, beliau berziarah dulu ke beberapa makam Wali Allah, seperti makam Habib Ahmad ibn Abdullah ibn Tholib Alatas, Sapuro, Pekalongan. Menurut Mbah Ma’shum, saat berziarah pada malam Jum’at, Habib Ahmad Alatas menemuinya dan memimpin doa bersama. Setelah itu Mbah Ma’shum keliling kota meminta sumbangan, dan berhasil mendapatkan sejumlah uang yang dibutuhkan untuk membangun pesantren. Selain ke makam Habib Ahmad, beliau juga sering mendatangi haul Habib Ali Kwitang, Jakarta, dan ke makam Mbah Jejeruk (Sultan Mahmud) di Binangun Lasem. Setiap kali berziarah ke makam Mbah Jejeruk ini Mbah Ma'shum selalu membaca Shalawat Nariyah 4444 kali dalam sekali duduk. Mbah Ma'shum juga istiqamah mengamalkan doa Nurun Nubuwwah selepas shalat Subuh dan Ashar. Setelah beberapa lama mengembangkan pondok, pesantrennya kemudian dinamakan Pesantren Al-Hidayat. Tetapi agresi Belanda tahun 1949 membuat Mbah Ma’shum harus mengungsi, dan pesantren mengalami masa vakum sampai situasi tenang dan aman kembali.

Mbah Ma'shum selama mengajar banyak berperan aktif langsung dalam pendidikan santrinya. Beliau juga memiliki kebiasaan mengajar beberapa kitab yang diajarkan terus-menerus berulang-ulang, artinya jika kitab itu khatam, maka akan dimulai lagi dari awal. Di antaranya adalah pelajaran Al-Qur’an, Fathul Qarib, Fathul Wahhab, Jurumiyah, Alfiyah, al-Hikam ibn Athaillah, dan Ihya Ulumuddin. Mengenai kitab al-Hikam ini Mbah Ma’shum menyatakan bahwa beliau mengkhatamkannya sebanyak usia beliau. Mengenai Kitab Ihya, beliau berujar, "Saya khawatir kalau melihat santri yang belum pernah khatam kitab Ihya tapi sudah berani memberikan pengajaran kepada umat; yah, semoga saja dia selamat" Fathul Wahhab juga dikhatamkan sebanyak usianya, sehingga beliau pernah berkata bahwa ilmu Fiqh telah ada di dalam dadanya. Ketika beliau sudah berusia lanjut, kebanyakan santri yang datang kepadanya umumnya punya tujuan utama tabarrukan, atau mengambil barokah spiritualnya. Dalam mengajar santri Mbah Ma'shum amat disiplin dan istiqamah, sebab istiqamah adalah lebih utama ketimbang seribu karomah. Beliau juga tak segan-segan menegur khatib Jum’at yang khotbahnya terlalu lama dengan cara bertepuk tangan. Banyak muridnya yang menjadi kyai besar, seperti Kyai Abdul Jalil Pasuruan, Kyai Abdullah Faqih Langitan, Kyai Ahmad Saikhu Jakarta, Kyai Bisri Mustofa Rembang, Kyai Fuad Hasyim Buntet Cirebon, dan masih banyak lagi.

Sebagai kyai NU beliau juga gigih berjuang mendukung membesarkan NU bersama kyai-kyai lainnya. Beliau amat mencintai organisasi ini, sehingga beliau menyatakan tidak ridho jika anak keturunannya tidak mengikuti NU. Bahkan Mbah Ma’shum sendiri selalu didatangi oleh banyak kyai jika ada urusan penting di tubuh NU untuk meminta nasihat dan doanya. Misalnya ketika hangat-hangatnya pembentukan Jam’iyyah Thariqah al-Mu’tabarah al-Nahdliyah, Mbah Ma’shum termasuk yang setuju, dan bahkan menjadi salah satu “petinggi” organisasi tarekat itu, walaupun beliau sendiri tidak mengamalkan praktik-praktik tarekat. Menurutnya, “Saya sudah menggunakan tarekat langsung dari Kanjeng Nabi Muhammad, yakni berupa Hubb al-Fuqara wa al-Masakin (mencintai kaum fakir miskin). Selain itu banyak pula tokoh lain yang sowan kepada beliau guna meminta doa restu. Hal ini juga dilakukan oleh Profesor Kyai Haji Mukti Ali saat diangkat menjadi menteri agama. Mbah Ma’shum bersedia mendoakan Mukti Ali jika dia mau mengikuti sarannya, yang salah satunya menunjukkan kebesaran jiwanya: “Engkau jangan sekali-kali membenci NU. Sebab membenci NU sama dengan membenci aku karena NU itu saya yang mendirikan bersama-sama ulama lain. Tetapi engkau pun jangan membenci Muhamadiyyah. Jangan pula membenci PNI dan partai lain … Kau harus dapat berdiri di tengah-tengah dan berbuat adil terhadap mereka.” Ketika pecah huru-hara PKI Mbah Ma'shum terpaksa melakukan perjalanan dari kota ke kota, karena beliau termasuk tokoh yang di incar hendak dibunuh oleh PKI.

Mbah Ma'shum wafat pada 28 April 1972 (14 Robiul Awal 1392 H) jam 2 siang, setelah shalat Jum’at. Upacara pemakamannya dibanjiri massa yang ingin memberikan penghormatan terakhir. Pemakamannya dihadiri oleh banyak tokoh ulama, petinggi partai politik dan pejabat pemerintah.

Karomah Mbah Ma'shum Lasem
mbah kyai ma'shum lasem
Mbah Ma’shum Lasem, Jawa Tengah, adalah ulama besar yang tindakannya sering sulit dicerna nalar awam. Setelah peristiwanya, barulah orang mengerti apa sesungguhnya yang terjadi.

Diperkirakan, Mbah Ma’shum lahir pada tahun 1868. Dia adalah anak bungsu pasangan Ahmad dan Qosimah. Oleh orangtuanya dia kemudian diserahkan kepada Kiai Nawawi, Jepara, untuk mempelajari ilmu agama, karena sejak kecil diatelah ditinggal wafat oleh ibunya. Dari Kiai Nawai dia mendapat pelajaran dasar ilmu alat (nahwu) yang diambil dari kitab Jurumiyyah dan Imrithi.

Pengembaraannya mencari ilmu tidak sebatas di Lasem, melainkan sampai ke Jepara, Kajen (Kyai Abdullah, Kyai Abdul Salam, dan Kyai Siroj), Kudus (Kyai Ma’shum dan Kyai Syarofudin), Sarang Rembang (Kyai Umar Harun), Solo (Kyai Idris), Termas (Kyai Dimyati), Semarang (Kyai Ridhwan), Jombang (Kyai Hasyim Asy’ari), Bangkalan (Kyai Kholil), hingga Makkah (Kyai Mahfudz At-Turmusi), dan kota-kota lain.

Suatu saat, di Semarang, dia tertidur dan bermimpi bertemu Nabi Muhammad SAW. Ketika di Bojonegoro, dia tidak hanya bermimpi, melainkan, antara tertidur dan terjaga, dia bertemu dengan Nabi, yang memberikan ungkapan La khayra ilia fi nasyr al-ilmi, yang artinya “Tidak ada kebaikan (yang lebih utama) daripada menyebarkan ilmu”.

Di rumahnya sendiri, dia bermimpi kembali. Dalam mimpinya, ia bersalaman dengan Nabi Muhammad SAW, yang berpesan, “Mengajarlah, segala kebutuhanmu insya Allah akan dipenuhi semuanya oleh Allah.”

Di kemudian hari, Mbah Ma’shum menjadi ulama besar yang dikenal memiliki banyak karamah. Inilah beberapa kisah karamahnya:

Walisongo Bertamu
Ada satu kisah karomah lain yang menunjukkan ketinggian kedudukan spiritualnya. Hari itu datang sembilan orang tamu ke Lasem. Mereka ingin berjumpa dengan Mbah Ma’shum. Namun, karena tuan rumah sedang tidur, Ahmad, salah seorang santrinya, menawarkan apa perlu Mbah Ma’shum dibangunkan. Ternyata mereka menolak.

Lalu mereka semua, yang tadinya sudah duduk melingkar di ruang tamu, berdiri sambil membaca shalawat, kemudian berpamitan.
“Apa perlu Mbah Ma’shum dibangunkan?” tanya Ahmad sekali lagi.
“Tidak usah,” ujar me­reka serempak lalu pergi.

Rupanya saat itu Mbah Ma’shum mendusin dan bertanya kepada Ahmad perihal apa yang baru saja terjadi.
Setelah mendapat penjelasan, Mbah Ma’shum minta kepada Ahmad agar mengejar tamu-tamunya.
Tapi apa daya, mereka sudah menghilang, padahal mereka diperkirakan baru sekitar 50 meter dari rumah Mbah Ma’shum.

Ketika Ahmad akan melaporkan hal tersebut, Mbah Ma’shum, yang sudah bangun tapi masih dalam posisi tiduran, mengatakan bahwa tamu-tamunya itu adalah Walisango dan yang berbicara tadi adalah Sunan Ampel. Setelah mengucapkan kalimat terse­but, Mbah Ma’shum tertidur pulas lagi.

Beras Melimpah
Di depan para cucunya, Mbah Ma’shum memimpin pembacaan istighatsah dan membaca potongan syair Al-Burdah yang artinya, “Wahai makhluk paling mulia (Muhammad), aku tak ada tempat untuk mencari perlindungan kecuali kepadamu, pada kejadian malapetaka nan besar nanti.”

Syair tersebut dibaca 80 kali, dilanjutkan dengan doa sebagai berikut: “Ya Allah, orang-orang yang ada dalam tanggungan kami sangat banyak, tetapi beras yang ada pada kami telah habis. Untuk itu kami mohon rizqi dari-Mu.”

Selain mengamini, Nadhiroh, salah seorang cucunya, berteriak, “Mbah, tambahi satu ton.”
Ditimpali oleh Mbah Ma’shum, “Tidak satu ton, tepi lebih….”

Beberapa hari kemudian, beras seolah mengalir dari tamu-tamu yang datang dari berbagai kota, seperti Pemalang dan Pasuruan, ke tempat Mbah Ma’shum.

Masih soal beras. Pada kali yang lain, setelah mengajar 12 santrinya lalu diikuti dengan membaca Alfiyah, Mbah Ma’shum minta mereka mengamini doanya, karena persediaan beras sudah habis.

“Ya Allah, Gusti, saya minta beras….”
“Amin…,” ke-12 santri itu, yang ditampung dan ditanggung di rumah Mbah Ma’shum, khidmat menyambung doanya.

Jam sebelas siang, datang sebuah becak membawa beberapa karung be­ras. Tanpa pengantar, kecuali alamat ditempel di karung-karung beras itu. Di sana tertera jelas, kotanya adalah Banyuwangi. Kepada santrinya yang bernama Abrori Akhwan, Mbah Ma’shum minta agar mencatat alamat yang tertera di karung itu.

Suatu saat ketika berkunjung ke Banyuwangi, Mbah Ma’shum bermaksud mampir ke alamat itu. Saat alamat tersebut ditemukan, tempat itu ternyata kebun pisang yang jauh di pedalaman. Ironisnya, masyarakat di sana hampir- hampir tak ada yang kelebihan rizqi. Lalu siapa yang mengirim beras...?

“Dua Tahun Lagi Saya Menyusul”
“Seandainya Paman wafat pada hari ini, saya akan menyusul dua tahun kemudian,” demikian reaksi Mbah Ma’shum ketika mendengar kabar bahwa pamannya, Kiai Baidhowi, meninggal hari itu, 11 Desember 1970.

Bahkan ucapan itu ditegaskan sekali lagi langsung di telinga almarhum ketika dia menghadiri pemakamannya, “Ya, Paman, dua tahun lagi saya akan menyusul.”

Mbah Ma’shum tutup usia pada 28 Oktober 1972 atau 12 Ramadhan 1332, sepulang dari shalat Jum'at di masjid jami Lasem, tak jauh dari rumahnya. Persis seperti ucapannya, menyusul dua tahun setelah pamannya wafat.

Mengajar atau Menolong Orang juga “Dzikir”
Kisah lain, sambil memijit badan Mbah Ma’shum, Abrori Akhwan, yang kala itu, awal dekade 1960-an, masih menjadi santri di pesantren Mbah Ma’shum, Al-Hidayat, dalam benaknya terlintas pertanyaan, kenapa Mbah Ma’shum tak pernah menggunakan peci haji atau sorban bila keluar rumah, tidak pernah berdzikir dalam waktu yang lama, dan tidak banyak kitab kuning di rumahnya.

Pikiran itu rupanya terbaca oleh Mbah Ma’shum. Tak lama kemudian, ia berujar, “Seorang kyai tidak harus meng­gunakan peci haji atau sorban."Berdzikir" kepada Allah bisa dilakukan langsung secara praktek, seperti misalnya kita mengajar atau menolong orang, tidak harus dalam waktu lama dengan bebe­rapa bacaan tertentu. Kitab kuning sebenarnya banyak, tapi dipinjam oleh Ali, anak sulungku.”

Insya Allah akan Kembali
Ketika dalam perjalanan silaturahim ke Jawa Tengah dan Jawa Timur, Mbah Ma'shum kehilangan kacamata di kereta api yang tengah meluncur, antara Tegal dan Pekalongan. Menyadari hal itu, ia kemudian mengajak para pengikutnya membaca surah Adh-Dhuha. Dan ketika sampai ayat wawajadaka dhaallam fahada, ayat tersebut dibaca delapan kali.

“Dengan membaca surah tersebut, insya Allah barang kita yang hilang akan kembali. Setidaknya Allah akan memberikan ganti yang sesuai,” katanya kemudian.

Ketika rombongan mampir ke rumah Kyai Faturrahman di Kebumen, Mbah Ma’shum melihat sebuah kacamata di lemari kaca tuan rumah, persis miliknya yang hilang. Dengan spontan ia berkata, “Alhamdulillah.”

Kepada Faturrahman, ia bertanya, “Apa ini kacamata saya...?”
Dijawab Kyai Faturrahman dengan terbata-bata, “Ya mungkin saja, Mbah….”
Kemudian kacamata itu diambil dan dipakai oleh Mbah Ma’shum.

Kendaraan Soal Belakang
Kali ini soal dokar/delman. Santri yang mengawal Mbah Ma’shum kebingungan. Se­telah maghrib, sudah menjadi kebiasaan, dokar di daerah Batang, Pekalongan, tidak akan ada yang berani keluar ke­cuali kalau dicarter. Namun Mbah Ma'shum berkata, “Shalat dulu, kendaraan soal belakang.”

Ketika itu rombongan Mbah Ma'shum sudah sampai di sebuah musholla. Maka shalatlah mereka secara berjamaah. Bahkan dilanjutkan hingga shalat Isya.

Setelah semua selesai, rombongan pun melanjutkan perjalanan. Dan, tanpa diduga, begitu rombongan keluar dari halaman musholla, lewatlah sebuah do­kar kosong. Mereka pun menaikinya. Subhanallah.

(Disadur dari Majalah Alkisah No. 26/Tahun VII)
Sumber :  http://zulfanioey.blogspot.com

Sabtu, 05 September 2015

Riwayat Makam Keramat Syekh Quro Pulobata Karawang

Pintu Gerbang Makam Keramat Syekh Qurotul'ain Karawang
Syekh Quro adalah Syekh Qurotul'ain atau Syekh Hasanudin atau Syekh Mursahadatillah. Menurut naskah Purwaka Caruban Nagari, Syekh Quro adalah seorang ulama yang arif dan bijaksana dan termasuk seorang ulama yang hafidz Al-qur'an serta ahli qiro'at yang sangat merdu suaranya. Dia adalah putra seorang ulama besar perguruan islam dari negeri Campa yang bernama Syekh Yusuf Siddik yang masih ada garis keturunan dengan Syekh Jamaluddin Akbar Al-Husaini serta Syekh Jalaluddin ulama besar Mekah. Jika di tarik dan di lihat dari silsilah keturunan, Syekh Hasanudin atau Syekh Quro masih ada garis keturunan dari Sayyidina Husein Bin Sayyidina Ali R.a dengan Siti Fatimah putri Rosulullah SAW. menantu dari Nabi Muhammad SAW. dari keturunan Dyah Kirana (Ibunya Syekh Hasanudin atau Syekh Quro). Selain itu Syekh Hasanudin atau Syekh Quro juga masih saudara seketurunan dengan Syekh Nurjati Cirebon dari generasi ke-4 Amir Abdullah Khanudin.

Konon, beliau pencetus pesantren sebagai candradimuka kaum santri. Beliau adalah leluhur, guru dan teman seperjuangan Walisongo dalam mensyiarkan agama islam yang kala itu masih dipenuhi sakralisasi Hindu.

Sebelum berlabuh di Pelabuhan Karawang, Syekh Quro datang di Pelabuhan Muara Jati, daerah Cirebon pada tahun 1338 Saka atau tahun 1416 Masehi. Syekh Nurjati mendarat di Cirebon pada tahun 1342 Saka atau tahun 1420 Masehi atau 4 tahun setelah pendaratan Syekh Hasanudin atau Syekh Quro di Cirebon. Kedatangan Syekh Hasanudin atau Syekh Quro di Cirebon, disambut baik oleh Syahbandar atau penguasa Pelabuhan Muara Jati Cirebon yang bernama Ki Gedeng Tapa. Maksud dan tujuan kedatangan Syekh Hasanudin ke Cirebon adalah untuk menyebarkan ajaran Agama Islam kepada Rakyat Cirebon. Syekh Hasanudin ketika di Cirebon, namanya disebut dengan sebutan Syekh Mursahadatillah oleh Ki Gedeng Tapa dan para santrinya atau rakyat Cirebon.
makam syekh quro
Makam Syekh Quro

Setelah sekian lama di Cirebon, akhirnya misi Syekh Hasanudin untuk menyebarkan ajaran Agama Islam di Pelabuhan Cirebon rupanya diketahui oleh Raja Pajajaran yang bernama Prabu Angga Larang. Namun disayangkan misi Syekh Hasanudin ini oleh Prabu Angga Larang di tentang dan dilarang, dan kemudian Prabu Angga Larang mengutus utusannya untuk menghentikan misi penyebaran agama Islam yang dibawakan oleh Syekh Hasanudin dan mengusir Syekh Hasanudin atau Syekh Mursahadatillah dari Tanah Cirebon.

Ketika utusan Prabu Angga Larang sampai di Pelabuhan Cirebon, maka utusan itu langsung memerintahkan kepada Syekh Hasanudin atau Syekh Mursahadatillah untuk segera menghentikan dakwah dan penyebaran agama Islam di Pelabuhan Cirebon. Agar tidak terjadi pertumpahan darah, maka oleh Syekh Hasanudin atau Syekh Mursahadatillah atau Syekh Quro perintah yang dibawakan oleh utusan dari Raja Pajajaran Prabu Angga Larang itu disetujuinya, dan Syekh Hasanudin atau Syekh Mursahadatillah seraya berkata kepada utusan Raja Pajajaran Prabu Angga Larang: "Meskipun dakwah dan penyebaran ajaran agama Islam ini dilarang, kelak dari keturunan raja Pajajaran akan ada yang menjadi Waliyullah meneruskan perjuangan penyebaran ajaran agama islam". Peristiwa ini sontak sangat disayangkan oleh Ki Gedeng Tapa dan para santrinya atau rakyat Cirebon, karena Ki Gedeng Tapa sangat ingin berguru kepada Syekh Hasanudin atau Syekh Mursahadatillah atau Syekh Quro untuk memperdalam ajaran agama islam.

Ketika itu juga Syekh Hasanudin atau Syekh Mursahadatillah pamit kepada Ki Gedeng Tapa Muara Jati Cirebon untuk pergi ke Malaka, maka Ki Gedeng Tapa Muara Jati Cirebon menitipkan anak kandung kesayangannya yang bernama Nyi Subang Larang, untuk ikut berlayar bersama Syekh Hasanudin atau Syekh Mursahadatillah ke Malaka. Menurut juru kunci makam, Habib Rista, Syekh Quro sempat membangun masjid dengan nilai arsitektur tinggi. Masjid itu diberi nama Mangal Mangil Mangup. Konon dengan segala karomahnya, masjid itu dipindahkan secara ghaib ke Gunung Sembung Cirebon yang pada masa itu menjadi kediaman Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.


Hingga kini banyak orang yang ngalap berkah di makam Syekh Quro. Mereka yang mempunyai hajat berziarah ke makam lalu mengambil Abu tempat pembakaran kemenyan yang terletak di depan makam. Selain itu mereka juga membawa air putih supaya didoakan oleh juru kunci makam. "Saya mendoakan hajat para peziarah kepada Allah melalui perantara Syekh Quro. Ada yang minta kenaikan pangkat, dagangannya supaya laris, menyukai lawan jenis atau minta keselamatan". ungkap Habib Rista.

Di uraikannya, bahwa Abu dari makam Syekh quro itu memiliki bermacam-macam fungsi. Jika ingin dagangannya laris maka abu itu disebar di depan toko atau warungnya. Kalau ingin karirnya meningkat, abu itu bisa disebar di kantor atau perusahaan tempatnya bekerja. "Sedang jika mencintai seseorang supaya dapat menikahi, abu itu dapat ditaruh di rokok, asapnya dikepulkan di depan orang yang taksir atau disebar di depan rumah orang yang dituju tersebut". papar Habib Rista.

Jika keinginan mereka telah terkabul, peziarah itu biasanya melakukan syukuran berupa nasi lengkap dengan lauk pauk. Nasi itu lalu diberi doa pula dan sebagian diberikan kepada juru kunci, sebagian dibawa pulang lagi untuk dimakan bersama keluarga. Peziarah yang datang tercatat dari berbagai kota di pulau jawa, mulai dari Karawang, Jakarta, Bogor, Bandung, Cirebon dan beberapa kota di jawa tengah dan jawa timur. Jika peziarah dari luar kota, mereka bisa menginap di musholah yang berada di kompleks pemakaman. "Banyak pula yang sengaja menginap untuk mencari wangsit atau petunjuk", Ungkap Habib Rista.

KEBERADAAN SYEKH QURO DI KARAWANG
Syekh Hasanudin atau Syekh Mursahadatillah berada di Pelabuhan Bunut Kertayasa (Kampung Bunut Kelurahan Karawang Kulon Kecamatan Karawang Barat Kabupaten Karawang sekarang ini). Di Karawang beliau dikenal sebagai Syekh Quro karena dia adalah seorang yang hafal Al-Quran (hafidz) dan sekaligus qori yang bersuara merdu. Sumber lain mengatakan bahwa Syekh Quro datang di Jawa tepatnya di Karawang pada 1418 Masehi dengan menumpang armada Laksamana Cheng Ho yang diutus Kaisar Cina Cheng Tu atau Yung Lo (raja ketiga zaman Dinasti Ming). Tujuan utama perjalanan Cheng Ho ke Jawa dalam rangka menjalin persahabatan dengan raja-raja tetangga Cina di seberang lautan. Armada tersebut membawa rombongan prajurit 27.800 orang yang salah satunya terdapat seorang ulama yang hendak menyebarkan agama islam di Pulau Jawa. Mengingat Cheng Ho seorang muslim, permintaan Syekh Quro beserta pengiringnya menumpang kapalnya dikabulkan. Syekh Quro beserta pengiringnya turun di pelabuhan Pura Dalem Karawang, sedangkan armada Cina melanjutkan perjalanan dan berlabuh di Pelabuhan Muara Jati Cirebon.

Di Kabupaten Karawang pada tahun 1340 Saka (1418 M) mendirikan pesantren dan sekaligus masjid di Pelabuhan Bunut Kertayasa Tanjung pura,Karawang Barat, Karawang, sekarang, diberi nama Pondok Quro yang artinya tempat untuk belajar Al-Quran. Syekh Quro adalah penganut Mahzhab Hanafi, yang datang bersama para santrinya antara lain : Syekh Abdul Rohman, Syekh Maulana Madzkur, dan Nyai Subang Larang. Syekh Quro kemudian menikah dengan Ratna Sondari putrinya dari Ki Gedeng Karawang dan lahir seorang putra yang bernama Syekh Akhmad yang menjadi penghulu pertama di Karawang. Syekh Quro juga memiliki salah satu santri yang sangat berjasa dalam menyebarkan ajaran agama islam di Karawang yaitu bernama Syekh Abdullah Dargom alias Syekh Darugem bin Jabir Modafah alias Syekh Maghribi keturunan dari Sayyidina Usman bin Affan r. a. Yang kelak disebut dengan nama Syekh Bentong atau Syekh Gentong alias Tan Go. Syekh Bentong memiliki seorang istri yang bernama Siu Te Yo dan beliau mempunyai seorang putri yang diberi nama Siu Ban Ci.

Ketika usia anak Syekh Quro dan Ratna Sondari sudah beranjak dewasa, akhirnya Syekh Quro berwasiat kepada santri-santrinya yang sudah cukup ilmu pengetahuan tentang ajaran agama islam seperti: Syekh Abdul Rohman dan Syekh Maulana Madzkur ditugaskan untuk menyebarkan ajaran agama islam ke bagian selatan karawang, tepatnya di kecamatan Teluk Jambe, Ciampel, Pangkalan, dan Tegal Waru sekarang. Sedangkan anaknya Syekh Quro dengan Ratna Sondari yang bernama Syekh Ahmad, ditugaskan oleh sang ayah meneruskan perjuangan menyebarkan ajaran agama islam di Pesantren Quro Karawang atau Masjid Agung Karawang sekarang.

Sedangkan sisa santrinya yang lain yakni Syekh Bentong ikut bersama Syekh Quro dan Ratna Sondari istrinya pergi ke bagian utara karawang tepatnya ke Pulobata desa Pulokalapa kecamatan Lemah abang kabupaten karawang sekarang, untuk menyebarkan ajaran agama islam dan bermunajat kepada Allah swt.

Di Pulobata Syekh Quro dan Syekh Bentong membuat sumur yang bernama Sumur Awisan, kini sumur tersebut masih dipergunakan sampai sekarang. Waktu terus bergulir usia Syekh Quro sudah sangat udzur atau tua, akhirnya Syech Quro Karawang meninggal dunia dan dimakamkan di Pulo Bata Desa Pulokalapa Kecamatan Lemahabang Kabupaten Karawang. Sebelum meninggal dunia Syekh Quro berwasiat kepada santri-santrinya yaitu : "Ingsun titip masjid langgar lan fakir miskin anak yatim dhuafa".

Maka penerus perjuangan penyebaran ajaran agama islam di Pulobata, diteruskan oleh Syekh Bentong sampai akhir hayatnya Syekh Bentong. Makam Syekh Quro Karawang dan Makam Syekh Bentong ditemukan oleh Raden Somaredja alias Ayah Djiin alias Pangeran Sambri dan Syekh Tolha pada tahun 1859 Masehi atau pada abad ke-19. Raden Somaredja alias Ayah Djiin alias Pangeran Sambri dan Syekh Tolha, di tugaskan oleh kesultanan Cirebon, untuk mencari makam maha guru leluhur Cirebon yang bernama Syekh Quro. Bukti adanya makam Syech Quro Karawang di Pulo Bata Desa Pulokalapa Kecamatan Lemah abang Kabupaten Karawang, di perkuat lagi oleh Sunan Kanoman Cirebon yaitu Pangeran Haji Raja Adipati Jalaludin saat berkunjung ke tempat itu dan surat, penjelasan sekaligus pernyataan dari Putra Mahkota Pangeran Jayakarta Adiningrat XII Nomor : P-062/KB/PMPJA/XII/11/1992 pada tanggal 05 Nopember 1992 yang ditunjukan kepada kepala desa Pulokalapa kecamatan lemah abang kabupaten karawang.

RIWAYAT SEJARAH DITEMUKANNYA MAKAM SYEKH QURO
Sebelum anda memasuki areal makam Syekh Quro alangkah baiknya terlebih dahulu berziarah ke salah satu penemu makam Syekh Quro yaitu Ayah Dji'in Sumaredja yang terletak di depan kantor desa Pulo kalapa. Untuk menemukannya cukup mudah karena di depan halaman kantor desa Pulo kalapa di sebelah kiri jalan ada patung besar buah kelapa.
Makam Raden Somaredja
Keberkahan makam Syekh Quro tak lepas dari riwayat penemuannya yang menakjubkan. Rista menceritakan, pada abad ke-17 terdapat seorang yang bernama Raden Somaredja alias Ayah Djiin alias Penganten Sambri. Beliau keturunan Munding Kawangi dari leluhurnya kerajaan Galuh Pakuan, Pajajaran. Dia diminta bantuan oleh Kesultanan Cirebon, untuk mencari di mana adanya atau tempatnya maha guru leluhur Cirebon yang bernama Syekh Quro.

Setelah adanya permohonan dari kesultanan Cirebon tersebut, Raden Somaredja dengan membawa pengawalnya dari kesultanan menuju ke arah barat yaitu ke daerah Cianjur lalu ke Bogor yaitu ke dusun Citeurep menemui pangeran Sake keturunan dari Syekh Maulana Yusuf dari Banten.

Kemudian Raden Somaredja menceritakan maksud dan tujuannya. Di tempat itulah, Raden Somaredja mendapat ilham untuk melanjutkan pencariannya ke daerah karawang hingga sampailah di Kota Tandingan. Di lokasi tersebut, beliau bertemu dan di sambut baik oleh Eyang Sarpi. Karena Raden Someredja seorang yang baik hati dan cerdas, oleh Eyang Sarpi beliau di angkat menjadi menantu atau dinikahkan dengan salah seorang putri angkatnya yang bernama Nyai Anisa.

Pernikahan Raden Someredja dengan Nyai Anisah, di karuniai tiga putra yaitu: Raden Suryadiredja alias Dji’in, Raden Suryadidjaya alias Mian, Raden Suryawidjaya alias Embeh. Dari ketiga keturunan inilah yang telah menurunkan para pemimpin desa Pulokalapa dan Pengurus Makam Syekh Quro.

Sejak punya anak pertama Raden Suryaredja alias Dji’in, maka Raden Somaredja disebut Ayah Dji’in dan Nyai Anisah istrinya disebut Ma ini. Eyang Sarpi sebagai mertua dari Raden Somaredja, mengingatkan agar Raden Somaredja segera melanjutkan perjalanannya. Seterusnya, Somaredja beserta keluarga dan para pengawalnya, melanjutkan lagi ke daerah karawang sebelah utara hingga sampai ke salahsatu perkampungan yang disebut Pulokalapa, sampai di desa Pulokalapa pada tahun 1850 dan pada waktu itu lahannya masih rawa-rawa belantara yang selajutnya di olah oleh Raden Somaredja menjadi lahan pertanian yang subur.

“Namun pada sewaktu pengelolaan lahan tersebut, ada sesuatu yang aneh, di suatu lahan yaitu di tanah timbul selalu banyak binatang-binatang buas dan berbisa, seperti ular, harimau dan sebagainya", kisahnya.

Bahkan di tempat itu setiap malamnya terlihat oleh Raden Somaredja selalu munculnya cahaya yang bersinar. Para pengikut Raden Somaredja pun ketika, membuka lahan tersebut banyak yang sakit. Raden Somaredja semakin penasaran dan berniat untuk meneliti tempat itu. Setelah ada niatan tersebut di setiap tidurnya dia ia selalu bermimpi dan melihat seorang ulama besar yang berpakaian jubah putih memegang tasbih sedang bertawasul dan berdzikir kepada Allah SWT . Hingga tiga kali mimpi itu selalu muncul hal yang sama.

Dengan berulangnya mimpi yang sama, lalu Raden Somaredja melakukan istikomah dengan hati yang tulus dan ikhlas untuk memohon petunjuk dari Allah SWT. Namun sebelumnya beliau melantunkan adzan terlebih dahulu di tempat tersebut, tiba- tiba ada yang menyahutnya, ketika selesai tawasul, dibacakannya salam, ada juga yang menyahutnya. "Ketika dilihat, di depannya ada cahaya yang bersinar dan bersuara serta mengatakan, bahwa beliau adalah Syekh Quro. Tempat itu persis di atas tumpukan bata- bata yang ukurannya tidak sama dengan bata biasa. Sampai sekarang disebut Kramat Pulobata," cetusnya.

Atas temuannya itu, Raden Somaredja langsung melaporkan ke keraton Cirebon, sekaligus ingin adanya saksi atas penemuan itu. Sehingga,sesuhunan Cirebon mengutus juru kunci Astana Gunung Jati yakni: Kyai Talka atau Kyai Tolakoh untuk segera pergi ke tempat dimana temuan Raden Somaredja tersebut.

Kyai Tolakoh dan Raden Somaredja sampai di Pulobata, masih menjumpai cahaya yang bersinar. Terlihat oleh keduanya, seseorang yang berpakaian jubah putih memegang tasbih yang sedang berdzikir, dan ketika diberi salam, bayangan orang yang sedang berdzikir itu menjawab sambil memberikan pesan, "Jaga dan peliharalah tempat ini, Insya Allah akan membawa keberkahan untuk semuanya". Setelah itu, bayangan dan sinar tersebut menghilang tanpa wujud.

Pada waktu itu,bertepatan pada hari Jum'at malam Sabtu Kliwon akhir bulan Ruwah atau Sya'ban tahun 1277 H / 1859 M . Sejak itu, Raden Somaredja dan Kyai Talka melaporkan penemuan tersebut ke kesultanan.

Sehingga para ulama Keraton Cirebon berkunjung ke tempat tersebut untuk melakukan istighosah bersama. Semua sependapat dan meyakini bahwa di tempat itulah keberadaan makam karomah Syekh Quro. Kemudian tempat itu diberi tanda, dengan membawa Batu Jahul atau Batu nisan dari Cirebon, Setiap Jum'at malam sabtu akhir bulan Sya'ban diperingati Haul Syekh Quro. Pada malam Sabtunya, ribuan jamaah mengadakan dzikir atau tawasul akbar. Atas amanah tersebut, Raden Somaredja memelihara tempat itu hingga wafatnya pada tahun 1916 Masehi. Dia dimakamkan di Dusun Krajan I Desa pulokalapa.

Sebelum Raden Somaredja alias Ayah Dji'in atau Pangeran Sambri yang keturunan Munding Kawangi Raja Galuh Pakuan Pajajaran meninggal, beliau memberikan pesan atau wasiat kepada keturunanya untuk melanjutkan memelihara makam Syekh Quro. Di uraikan Rista, sejarah ditemukannya makam Syekh Quro ini, di ambil dari keterangan Raden Suryadidjaya alias Bah Mian atau Mail, putra kedua Raden Somaredja yang ketika wafatnya berusia 105 tahun dan di makamkan di dekat Makam Syekh Quro Pulobata pada tahun 1950 Masehi.

Ada pun keturunan Raden Somaredja yang kesatu Raden Suryadireja (Dji’in) dan Raden Suryawidjaya (Embeh), setelah wafatnya di makamkan di dekat makam Raden Somaredja di dusun kerajan I desa Pulo kalapa.

LOKASI MAKAM

-Lokasi makam Syekh Quro berada di desa Pulobata  kecamatan Wadas kabupaten Karawang. Jika dari arah Jakarta, keluar tol Karawang Timur, ke kanan ambil arah Cikampek, kira-kira 5 km kemudian ketemu pasar kosambi, lalu ambil arah kiri tujuan telaga sari (ada perlintasan kereta api). Setelah 15 km, ketemu daerah Pasir dan pasar turi, ambil kearah kanan tujuan Wadas. 5 km kemudian akan ketemu pasar wadas lemah abang, lurus saja terus sampai ketemu pertigaan dengan penunjuk arah makam Syekh Quro di sebelah kiri jalan.
-Jika dari arah Bandung sebaiknya keluar tol Dawuan Bukit Indah menuju arah Karawang.
-Jika dari arah Cirebon atau Pantura, lebih dekat dari arah Cilamaya.
-Koordinatnya : 06° 15' 101" Lintang Selatan dan 107° 28' 900" Bujur Timur.

Di makam Syekh Quro, ada beberapa makam dan petilasan keramat yang bisa diketahui antara lain:
-Makam Syekh Bentong atau Syekh Gentong yang merupakan murid Syekh Quro, terletak di belakang makam Syekh Quro. Di areal makam Syekh Bentong/Gentong terdapat petilasan yang menurut riwayat tempat Syekh Bentong mengubur kitab-kitab Syekh Quro.
-Sumur Keramat tempat wudhu Syekh Quro, yang terletak didepan gerbang utama makam Syekh Quro.
Sumur tempat mandi, ada 3 tempat yaitu:
1.Di bagian dalam yang sekarang dipakai untuk tempat MCK dan wudhu, dan
2.Di bagian luar yang khusus untuk mandi saja, penulis sendiri tidak tahu apakah ini sumur keramat atau sumur baru. Adapun tempat wudhu di mesjid menurut pengurusnya adalah tempat baru, bukan petilasan.

-Kambing Keramat, adalah kambing-kambing yang ada di areal makam Syekh Quro yang merupakan sumbangan dari para peziarah yang berhasil mencapai maksud. Kambing-kambing ini biasanya akan disembelih pada saat acara mauludan, haulan, dan lain-lain. Lucunya kambing-kambing ini makan apapun makanan yang diberikan peziarah, termasuk jika diberi sebatang rokok, langsung dikunyah. Masyarakat sekitar meyakini untuk tidak coba-coba mencuri atau melukai kambing ini karena sering kejadian pencuri menjadi gila dan yang melukai ditimpa musibah.

-Kolam Petilasan Prabu Siliwangi.
Dari beberapa buku sejarah (lihat link sejarah), memang ada ikatan antara Prabu Siliwangi dan Syekh Quro yaitu istri Prabu Siliwangi bernama Nyai Subang Larang atau Subang Krancang merupakan murid dari Syekh Quro. Dari Nyai Subang Larang ini mempunyai beberapa anak diantaranya Prabu Kian Santang yang setelah memeluk islam bergelar Sunan Rohmat (makamnya di Godog Suci-Garut).

Kolam petilasan Prabu Siliwangi terdapat dibelakang samping makam Syekh Quro melalui jalan menuju kamar mandi dan kakus. Kolam ini menurut riwayat kuncen dan dari keterangan salah seorang kyai sepuh dari Purwakarta, terbentuk ketika Prabu Siliwangi tengah dicukur rambutnya tiba-tiba didatangi oleh anaknya yaitu Prabu Kian Santang (Sunan Rohmat) yang mengajak ayahandanya untuk memeluk islam. Prabu Siliwangi menolak masuk islam sambil menjejak ke tanah untuk melarikan diri, sehingga terbentuk lobang besar yang kemudian menjadi kolam.

-Pohon Tin Keramat, terdapat disamping kiri makam yang menurut riwayat dari para kuncen bibitnya dibawa oleh Syekh Quro dari Mekkah untuk manandai areal pesantrenan dan makamnya. Pohon ini terlihat jika kita masuk dari pintu samping makam melalui areal masjid. Keberadaan pohon Tin ini informasinya saya peroleh dari seorang penulis lepas harian islam yang pernah berkunjung ke rumah penulis.

-Menurut keterangan yang penulis peroleh dari para kyai sepuh, di makam Syekh Quro juga ada petilasan walisongo dan Syeh Siti Jenar, Subang Krancang, dan petilasan Kian Santang ketika disunat, namun mohon maaf saya belum tahu lokasi tepatnya apalagi riwayat dan sejarahnya. Mudah-mudahan ada teman-teman pembaca yang lebih tahu tempatnya.

Setelah beberapa waktu berada di pelabuhan karawang, Syekh Hasanuddin menyampaikan dakwahnya di mushollah yang dibangunnya dengan penuh keramahan. Uraiannya tentang agama islam mudah dipahami, dan mudah pula untuk diamalkan, karena ia bersama santrinya langsung memberi contoh. Pengajian Al-Qur'an memberikan daya tarik tersendiri, karena ulama besar ini memang seorang Qori yang merdu suaranya. Oleh karena itu setiap hari banyak penduduk setempat yang secara sukarela menyatakan masuk Islam.

Berita tentang dakwah Syekh Hasanuddin (yang kemudian lebih dikenal dengan nama Syekh Quro) di pelabuhan karawang rupanya telah terdengar kembali oleh Prabu Angga Larang, yang dahulu pernah melarang Syekh Quro melakukan kegiatan yang sama tatkala mengunjungi pelabuhan Muara Jati Cirebon. Sehingga ia segera mengirim utusan yang dipimpin oleh sang putra mahkota yang bernama Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi untuk menutup Pesantren Syekh Quro. Namun tatkala putra mahkota ini tiba di tempat tujuan, rupanya hatinya tertambat oleh alunan suara merdu ayat-ayat suci yang dikumandangkan oleh Nyai Subang Larang. Putra Mahkota (yang setelah dilantik menjadi Raja Pajajaran bergelar Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi itu pun mengurungkan niatnya untuk menutup Pesantren Syekh Quro, dan tanpa ragu-ragu menyatakan isi hatinya untuk memperistri Nyi Subang Larang yang cantik itu dan halus budinya. Lamaran tersebut rupanya diterima oleh Nyai Subang Larang dengan syarat mas kawinnya haruslah berupa "Bintang Saketi Jejer Seratus", yaitu simbol dari "tasbih" yang berada di Negeri Mekkah.

Sumber lain menyatakan bahwa hal itu merupakan kiasan bahwa sang Prabu haruslah masuk Islam, dan patuh dalam melaksanakan Syariat Islam. Selain itu, Nyai Subang Larang juga mengajukan syarat, agar anak-anak yang akan dilahirkan kelak haruslah ada yang menjadi seorang Raja. Semua hal tesebut rupanya disanggupi oleh Raden Pamanah Rasa, sehingga beberapa waktu kemudian pernikahan pun dilaksanakan, bertempat di Pesantren Quro (atau Masjid Agung Karawang sekarang) dimana Syekh Quro sendiri bertindak sebagai penghulunya.
Lukisan Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi

Raden Pamanah Rasa dan Nyai Subang Larang dikaruniai 3 orang putra yang bernama :
1. Raden Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana atau Cakraningrat (Yang lahir pada tahun 1345 Saka atau tahun 1423 Masehi).
2. Nyi Mas Rara Santang atau Syarifah Muda'im (Yang lahir pada tahun 1348 Saka atau tahun 1426 Masehi).
3. Raja Sangara atau Raden Kian Santang (Yang lahir pada tahun 1350 Saka atau tahun 1428 Masehi).

Ketika anak-anak Nyi Subang Larang dengan Raden Pamanah Rasa telah menginjak usia dewasa dan telah mendapat bimbingan dari Waliyullah Syekh Quro, maka ketiga anak-anak dari Nyi Subang Larang dengan Raden Pamanah Rasa itu ditugaskan oleh Syekh Quro untuk lebih memperdalam lagi ajaran Agama Islam ke Pelabuhan Cirebon untuk berguru kepada Syekh Nurjati Cirebon.

Setelah cukup mendapatkan bimbingan dari Syekh Nurjati Cirebon, maka ketiga anak-anak dari Nyi Subang Larang dengan Raden Pamanah Rasa diberi tugas oleh Syekh Nurjati Cirebon, adik bungsu dari Nyi Mas Rara Santang dan Raden Walasungsang yang bernama Raden Sangara atau Raden Kian Santang bertugas menyebarkan dan mengajarkan ajaran Agama Islam di Barat Cirebon yakni ke wilayah Limbangan Kabupaten Garut, sedangkan Nyi Mas Rara Santang bersama kakaknya Raden Walasungsang ditugaskan untuk berhaji dan sebelum berhaji disarankan terlebih dahulu menemui Syekh Ibrahim di Campa untuk mendapatkan bimbingan.

Ketika setelah mendapatkan bimbingan dari Syekh Ibrahim, maka Raden Walasungsang dan Nyi Mas Rara Santang ditugaskan untuk melanjutkan perjalanannya ke Mekah. Selama di Mekah, keduanya tinggal di pondok Syekh Bayanillah, adik Syekh Nurjati dan berguru kepada Syekh Abuyazid.  Setelah selesai melaksanakan ibadah haji, maka kakaknya Nyi Mas Rara Santang yang bernama Raden Walasungsang dipersunting oleh Nyi Indang Geulis atau Endang Ayu di Mekah, sedangkan adiknya yang bernama Nyi Mas Rara Santang ketika di Mekah dipersunting oleh raja Mesir yang bernama Maulana Sultan Mahmud atau Syarif Abdullah.

Kemudian setelah berhaji, Raden Walasungsang beserta istrinya Nyi Indang Geulis atau Endang Ayu pulang ke negeri Caruban atau Cirebon, sedangkan adiknya yang bernama Nyi Mas Rara Santang di bawa oleh suaminya ke negeri Mesir. Nyi Mas Rara Santang setelah menikah dengan Maulana Sultan Mahmud atau Syarif Abdullah namanya diganti menjadi Syarifah Muda'im. Hasil dari pernikahan antara Nyi Mas Rara Santang dengan Maulana Sultan Mahmud atau Syarif Abdullah, dikaruniai 2 orang anak yakni :
1.  Syarif Hidayatullah/Sunan Gunung Jati (Lahir di Mesir pada tahun 1372 Saka atau tahun 1450 Masehi).
2.  Syarif Nurullah (Lahir di Mesir pada tahun 1375 Saka atau tahun 1453 Masehi).

Waktu terus berganti, setelah Syarif Abdullah ayahnya Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah meninggal dunia, maka jabatan Sultan Mesir diserahkan kepada Syarif Nurullah, sedangkan Syarif Hidayatullah dan ibundanya yang bernama Nyi Mas Rara Santang meneruskan menimba ilmu agama islam dari ulama Mekah dan Baghdad. Setelah cukup menimba ilmu Agama Islam, tepatnya pada tahun 1397 Saka atau tahun 1475 Masehi Syarif Hidayatullah bersama ibundanya pulang ke Negeri Caruban atau Cirebon bermaksud untuk menyebarkan Agama Islam dan bertemu kepada Eyang dan Uwaknya Syarif Hidayatullah yakni kepada Ki Gedeng Tapa (Eyang Syarif Hidayatullah) dan Raden Walasungsang atau Pangeran Cakrabuana atau Cakraningrat (Paman Syarif Hidayatullah).

Sesampainya di Pelabuhan Muara Jati Cirebon, mereka disambut baik oleh Ki Gedeng Tapa yang merupakan Eyangnya Syarif Hidayatullah dan Raden Walasungsang yang merupakan pamannya Syarif Hidayatullah, pada waktu itu Raden Walasungsang menjadi Penguasa Cirebon yang bergelar Pangeran Cakrabuana atau Cakraningrat. Akhirnya setelah lama di Cirebon Syarif Hidayatullah mendapatkan bimbingan dan arahan dari Ki Gedeng Tapa dan Raden Walasungsang untuk menjadi santri baru guna menimba lebih dalam lagi ilmu dan memperdalam Agama Islam ke Paguron Gunung Jati di Pasambangan Jati yang dipimpin oleh Syekh Nurjati Cirebon.

Waktu terus bergulir setelah memperdalam Agama Islam di Paguron Gunung Jati Syekh Nurjati Cirebon, Syarif Hidayatullah menerima wejangan-wejangan yang berharga dari Syekh Nurjati yakni: "Ketahuilah bahwa nanti di zaman akhir, banyak orang yang terkena penyakit. Tiada seorangpun yang dapat mengobati penyakit itu, kecuali dirinya sendiri karena penyakit itu terjadi akibat perbuatannya sendiri. Ia sembuh dari penyakit itu, kalau ia melepaskan perbuatannya itu.

Dan ketahuilah bahwa nanti di akhir zaman, banyak orang yang kehilangan pangkat keturunannya, kehilangan harga diri, tidak mempunyai sifat malu, karena dalam cara mereka mencari penghidupan sehari-hari tidak baik dan kurang berhati-hati. Oleh karena itu sekarang engkau jangan tergesa-gesa mendatangi orang-orang yang beragama Budha.

Baiklah engkau sekarang menemui Sunan Ampel di Surabaya terlebih dahulu dan mintalah fatwa dan petunjuk dari beliau untuk bekal usahamu itu. Ikutilah petunjuk beliau, karena pada saat ini di tanah Jawa baru ada dua orang tokoh dalam soal keislaman, ialah Sunan Ampel di Surabaya dan Syekh Quro di Karawang. Mereka berdua masing-masing menghadapi Ratu Budha, yakni Pajajaran Siliwangi dan Majapahit. Maka sudah sepatutnyalah sebelum engkau bertindak, datanglah kepada beliau terlebih dahulu. Begitulah adat kita orang Jawa harus saling menghargai, menghormati antara golongan tua dan muda.

Selain itu, dalam usahamu nanti janganlah kamu meninggalkan dua macam sembahyang sunah, yaitu sunah duha dan sunah tahajud. Di samping itu, engkau tetap berpegang teguh pada empat perkara, yakni syariat, hakikat, tarekat, dan makrifat, serta wujudkanlah atau bentuklah masyarakat yang islamiyah".

Waktu terus berganti, ketika Syekh Nurjati meninggal dunia maka pemimpin Paguron Gunung Jati dipimpin oleh anak bungsunya Syekh Nurjati Cirebon yang bernama Syekh Datuk Khafi. Hari berganti hari tahun berganti tahun, usia Syekh Datuk Khafi sudah sangat tua, maka kedudukan atau pimpinan Paguron Gunung Jati digantikan atau dipimpin oleh Syarif Hidayatullah. Ketika menggantikan kedudukan pimpinan Paguron Gunung Jati sebagai guru dan da'i di Amparan Jati Syarif Hidayatullah diberi julukan Syekh Maulana Jati atau disingkat Syekh Jati.

Paguron Gunung Jati yang dipimpin oleh Syarif Hidayatullah ternyata berkembang pesat, banyak santri-santri diluar Cirebon untuk bersantri atau berguru di Paguron Gunung Jati. Perkembangan ini terus berlanjut tatkala Syarif Hidayatullah menggantikan pamannya yakni Raden Walasungsang yang usianya sudah sangat tua untuk memimpin Kerajaan Cirebon.

Ketika memimpin kerajaan Cirebon Syarif Hidayatullah diberi gelar Susuhunan atau Sunan Gunung Jati Cirebon. Syarif Hidayatullah setelah memimpin kerajaan atau kesultanan Cirebon, ia menikah dengan Nyai Kawunganten adik dari Bupati Banten. Dari pernikahan antara Syarif Hidayatullah dengan Nyai Kawunganten, dikaruniai 2 orang putra, yaitu :
1. Ratu Wulung Ayu.
2. Maulana Hasanuddin, yang kelak menjadi Sultan Banten I.

Pada tahun tahun 1402 Saka atau tahun 1480 Masehi atau semasa dengan Wali Songo Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati Cirebon, membangun sebuah Masjid yang bernama Masjid Sang Cipta Rasa. Masjid ini dibangun atas kerja sama antara Sunan Gunung Jati dengan Sunan Kalijaga. Nama masjid ini diambil dari kata "Sang" yang bermakna keagungan, "Cipta" yang berarti dibangun, dan "Rasa" yang berarti digunakan. Masjid Agung Sang Cipta Rasa terletak di sebelah utara Keraton Kasepuhan. Masjid ini terdiri dari dua ruangan, yaitu beranda dan ruangan utama. Untuk menuju ruangan utama, terdapat sembilan pintu, yang melambangkan Wali Songo. Masyarakat Cirebon tempo dulu terdiri dari berbagai etnik. Hal ini dapat dilihat pada arsitektur Masjid Agung Sang Cipta Rasa yang memadukan gaya Demak, Majapahit, dan Cirebon.

KEPERCAYAAN PARA PEZIARAH
Para peziarah terutama masyarakat karawang dan sekitarnya mempercayai bahwa jika berziarah ke syekh Quro dengan istiqomah maka insya Allah akan tercapai apa yang menjadi hajatnya khususnya bisa pergi haji. Adapun jumlah hitungan ziarahnya bervariasi, umumnya 41 kali, 21 kali, adapula yang 70 kali.

Jika mampu tirakat selama 7 hari di makam Syekh Quro maka insya Allah keluar dari kesulitan terutama masalah ekonomi. Tirakat ini cukup berat sehingga harus dengan bimbingan seorang guru melalui pengijazahan dan didampingi oleh kuncen.

Tempat lainnya
Pulo Masigit adalah nama masjid dan pesantren Syekh Quro yang ghoib atau hilang akibat doa Syekh Quro karena menghindari gangguan penjajah. Menurut para kuncen dan sesepuh makam, pada saat-saat tertentu makam Syekh Quro sering didatangi peziarah yang tidak jelas asal usulnya dan tidak jelas kemana pulangnya. Menurut para kuncen dan keyakinan penduduk sekitar mereka adalah murid-murid Syekh Quro dari bangsa jin muslim, Wallahu a'alam bishawab.

-Pulobata sebetulnya adalah petilasan bukan makam. Dinamakan pulobata karena sewaktu pertama kali ditemukan oleh Ayah Dji’in Sumaredja yang berasal dari cirebon, maka makamnya merupakan tumpukan bata-bata. Tumpukan bata-bata ini menurut para kuncen adalah tempat zikir, sholat, dan kholwat Syekh Quro dimana sewaktu-waktu dengan izin Allah SWT Syekh Quro pergi ke Mekah untuk sholat, sehingga tidak aneh jika banyak peziarah percaya bahwa siapa yang istiqomah ziarah ke makam Syekh Quro akan bisa pergi ke Mekkah untuk beribadah haji, Insya Allah.

Dahulunya Pulobata adalah daerah pesisir pantai yang banyak ditumbuhi pohon kelapa sehingga sebelumnya dinamakan Pulokalapa. Menurut riwayat, asal muasal Syekh Quro menetap di pulokalapa adalah karena kapalnya karam/rusak, maka Syekh Quro beserta rombongnnya akhirnya mendarat dan menetap di daerah ini, kemudian dengan doa beliau yang makbul maka pulokalapa akhirnya menjadi daratan.

-Tasbih Kayu
Di sekitar makam dan area parkir sering ditemukan pohon kayu yang mati. Pohon kayu yang hanya tumbuh di areal makam, oleh beberapa kuncen dimanfatkan menjadi tasbih dengan melalui olah dan laku spiritual tertentu. Jika beruntung kita bisa mendapatkan tasbih ini dengan mahar kekeluargaan. Bahkan pernah diberi tasbih kayu berukuran besar oleh seorang kuncen yang masih keturunan ayah Dji’in Sumaredja secara cuma-cuma walaupun awalnya tanpa sebab tertentu penulis dimarahi oleh sang kuncen dengan bahasa yang tidak dimengerti.

SEDIKIT NASIHAT UNTUK ZIARAH
Niatkanlah dari rumah untuk berziarah dan bersilaturahmi kepada Syekh Quro sebagai Waliyulloh dengan mengharap keberkahan dunia dan akhirat serta mengharap pertolongan Alloh SWT dari berbagai permasalahan. Untuk para pelaku tarekat dan pencari ilmu tambahkanlah juga dengan niat mencari keberkahan dari ilmu Alloh SWT yang diberikan kepada Syekh Quro.

Sebelum ziarah lakukanlah dahulu sholat sunat 2 rokaat di masjid Syekh Quro. Biasanya para juru kunci hanya membacakan ikrar ziarah didepan makam, maka selanjutnya lakukan tawasul sendiri. Bagi para peziarah yang akan mukim/menginap atau mempunyai waktu luang maka setelah ziarah beritikaflah di masjid sambil zikir dan tafakur, ditutup dengan do’a. Jagalah adab dan tata krama ziarah. Saat ziarah janganlah menggunakan pengeras suara atau zikir dengan suara sangat keras secara berlebihan sehingga mengganggu yang lain, karena penulis pernah melihat langsung akibatnya (kesurupan, motor yang di parkir bergulingan, mobilnya mogok, berkelahi dengan sesama teman, dan lain sebagainya). Bagi peziarah yang akan menginap, sebaiknya lapor dahulu ke pengurus makam.

Referensi:
-Riwayat Syekh Quro Karawang
-Sejarah Singkat Karawang
-Dinas Pariwisata dan Budaya Jawa Barat
-Sejarah Makam Syekh Quro