Allah SWT menciptakan akal dan nafsu
kemudian memerintahkan keduanya untuk menghadap.
Akal ditanya oleh Allah SWT. :”Man ana wa man anta..?" (Siapa aku dan siapa kamu).
Akal menjawab : "Allaahu robbi". (Allah
Tuhanku Yang Maha Gagah Perkasa sedangkan aku hanya ciptaanMu yang lemah dan
tidak ada daya dan upaya melainkan dengan izin-Mu).
Jawaban ini merupakan sikap tawadhu dari akal. Berbeda dengan nafsu
ketika ditanya dengan pertanyaan yang sama oleh Allah: Man ana wa man anta..?
Jawaban akal adalah : Ana, ana. Anta, anta.
(Aku adalah aku dan engkau adalah engkau).
Jawaban ini merupakan sebuah sikap takabur (kesombongan) dan
egoistis dari sang akal.
Mendengar jawaban
dari akal seperti itu, maka Allah mengirimkannya kedalam dua lautan yaitu
lautan lapar (bahruju) dan lautan dzikir (bahru dzikri) lamanya 100 tahun
(dalam riwayat lain ada yang menyebutkan 1000 tahun).
Ketika dikeluarkan
dari lautan lapar, akal masih menjawab dengan jawaban yang sama akhirnya Allah
mengirimkannya kedalam lautan dzikir. Setelah itu barulah akal mengakui dan tunduk kepada Allah.
Pada bulan Ramadhan, kita
dilatih untuk menahan haus, menahan lapar, menahan ngantuk, menahan pandangan dan
hal-hal lainnya yang membatalkan puasa. Disamping itu, pada malam harinya kita
jadikan untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan shalat-shalat sunat dan
dzikir. Sehingga diharapkan nafsu kita yang jelek (nafsu amarah) bisa
dikendalikan, bisa ditundukkan. Dzikir yang dapat menundukkan nafsu tersebut
adalah dzikir yang ditanamkan oleh seorang Guru Mursyid yaitu dzikir Jahar dan
dzikir Khofi. Mudah-mudahan pada setiap bulan
ramadhan kita bisa memanfaatkan semua waktunya untuk beribadah kepada Allah.
Karena untuk itulah manusia diciptakan.
Manusia itu dibagi menjadi 3
bagian:
Bagian pertama adalah milik
Allah yaitu ruhnya. Apabila ruh sudah dipanggil oleh Allah maka tidak ada
seorangpun yang dapat menahannya.
Bagian kedua adalah milik
manusia itu sendiri. Apabila ia berbuat baik, maka kebaikan itu akan kembali
kepada dirinya. Sebaliknya, jika ia berbuat jahat maka kejahatan itu akan
kembali kepada dirinya.
Dan yang terakhir, manusia itu
milik belatung.
Badannya apabila ia sudah mati di dalam kubur, maka akan dimakan oleh belatung
kecuali badan atau jasmaninya orang-orang yang selalu dzikir kepada Allah
sehingga iman dan taqwanya menjadi pelindung dirinya.
Jauh sebelum diciptakannya Nabi Adam as, Allah telah
menciptakan akal dan nafsu. Setelah akal dan nafsu diciptakan, mereka dipanggil
untuk menghadap Allah, terjadilah dialog diantara mereka, sebagai berikut:
Allah : Wahai akal siapakah
kamu dan siapakah aku...?
Akal : aku adalah ciptaanmu,
makhlukmu. Engkau adalah penciptaku, Rabb sekalian alam
Tiba giliran nafsu ditanya
dengan pertanyaan yang sama seperti akal
Allah : Wahai nafsu siapakah
kamu dan siapakah aku....?
Nafsu : Aku adalah aku, kamu
adalah kamu
Disebabkan jawaban nafsu
tersebut, nafsu kemudian dimasukkan ke dalam neraka selama 100 hari. Setelah
100 hari. Ditanya kembali oleh Allah dengan pertanyaan yang sama.
Allah : Wahai nafsu siapakah
kamu dan siapakah aku....?
Nafsu : Aku adalah aku dan
engkau adalah engkau
Dijawab dengan jawaban yang
sama sehingga nafsu kembali dimasukkan ke dalam neraka selama 100 hari lagi.
Setelah berlalu 100 hari ditanya kembali.
Allah : Wahai nafsu siapakah
kamu dan siapakah aku...?
Nafsu : Aku adalah aku dan kamu
adalah kamu
Tak jera juga rupanya nafsu
menjawab dengan jawaban yang sama. Kini, nafsu dimasukkan kembali ke dalam
neraka selama 100 hari tetapi neraka yang berbeda dari sebelumnya yakni neraka
lapar.
Selang waktu berlalu selama
100 hari. Tiba waktu ditanya kembali nafsu oleh Allah.
Allah : Wahai nafsu siapakah
kamu dan siapakah aku...?
Nafsu : Aku adalah ciptaanmu,
Engkau adalah penciptaku
Akhirnya, nafsu mengakui juga
bahwa dia adalah ciptaanNya walaupun sebelumnya harus mengikuti ego yang kuat
tak mau mengakui keberadaan Sang Pencipta. Tetapi, setelah dimasukkan ke dalam
neraka lapar, nafsu tersadar dan mengakui bahwa dia adalah ciptaan Allah dan
Allah adalan peciptanya.
Begitulah wataknya
nafsu sejak diciptakan, memiliki ego yang tinggi dengan keakuan yang tinggi
pula sehingga berani menentang apa yang dikatakan oleh Allah. Sama halnya, seperti yang
terjadi disekitar kita. Orang-orang yang menuruti hawa nafsunya tentu dia akan
melanggar apapun yang telah dilarang oleh Allah untuknya. Sedangkan orang-orang
yang bisa mengendalikan nafsu dan akalnya berfungsi secara sehat, dia akan
mematuhi segala perintah dan menjauhi semua larangan dari Allah.
Puasa merupakan salah satu
cara untuk menjinakkan nafsu yang begitu besar ego dan keakuan akan dirinya
tanpa mengenal Sang Pencipta. Puasa inilah yang akan menjadi sarana bagi
manusia untuk semakin mendekati diri dan meningkatkan amal ibadah yang
ditujukan kepada Allah.
Lewat puasa, manusia diajarkan
untuk mampu mengontrol dan mengendalikan nafsu. Tak boleh makan, tak boleh
minum, berhubungan suami isteri dan larangan lainnya sejak terbit fajar hingga
tenggelam matahari.
Dengan berpuasa
secara tidak langsung manusia telah masukkan nafsu ke dalam neraka lapar sebab
tak ada satu pun makanan dan minuman yang masuk ke dalam tubuh manusia ketika
sedang menjalankan ibadah puasa.
Hasil akhir yang diharapkan
pun sama seperti kejadian yang dialami nafsu pasca awal diciptakan agar sang diri yang
memiliki nafsu tersebut mau mengakui akan beradaan Sang Pencipta dan senantiasa
menyembahNya.
Jika di ibaratkan hewan, nafsu adalah
hewan yang sangat liar. Maka, dari itu manusia diminta untuk memberikan “tali kekang” agar nafsu di dalam dirinya
tidak liar kesana-kemari dan manusia pun bisa mengendalikannya.
Di dalam tafsir
Al-Azhar mahakarya dari Buya Hamka pada surah Al-Fajr, dijelaskan bahwa nafsu
terbagi menjadi tiga tingkatan yakni:
Nafsul Ammarah,
nafsu yang selalu mendorong agar berbuat sesuatu diluar pertimbangan akal yang
tenang. Manusia
banyak yang terjerumus ke dalam lembah kesesatan akibat mengikut nafsu yang
satu ini.
Setelah mengikuti Nafsul
Ammarah timbullah rasa penyesalan diri. Inilah yang disebut dengan Nafsul
Lawwamah. Kita lebih mengenalnya di dalam keseharian dengan istilah tekanan
batin atau merasa berdosa.
Dari pengalaman dua tingkatan
nafsu tersebut yakni Nafsul Ammarah dan Nafsul Lawwamah, maka manusia mampu
mencapai tingkatan Nafsul Muthmainnah yakni jiwa yang mencapai tenang dan
tentram akibat digambleng terlebih dahulu oleh penderitaan dan pengalaman.
Jiwa yang telah melalui banyak
jalan berliku sehingga tidak mengeluh lagi ketika mendaki sebab yakin setelah
pendakian pasti ada penurunan. Setelah itu, tidak gembira melonjak kembali
ketika penurunan sebab setelah penurunan pasti ada pendakian kembali. Itulah
yang disebut jiwa yang telah mencapai iman disebabkan oleh kematangan disaat
ditimpa berbagai percobaan.
Jiwa inilah yang akan menjadi
dua sayap dalam kehidupan manusia yakni syukur ketika mendapatkan kenikmatan
dari Allah dan bersabar ketika memperoleh cobaan dari-Nya.
Semoga dengan berpuasa, kita
dapat menjadikan akal sebagai imam nafsu agar mudah mengendalikan dan
mengontrol nafsu tetap berada di jalan Allah dengan melaksanakan berbagai
kebaikan dan amal ibadah di dalam aktivitas sehari-hari.
Bukan sebaliknya, nafsu yang
menjadi imam akal. Maka, hidup manusia akan tanpa arah dan tak jelas jika hanya
mengimami nafsu yang pada hakikatnya banyak menjerumuskan manusia ke lembah
kenistaan dan semakin menjauhkan manusia kepada Sang Kholiq.
NAFSU
Alangkah susahnya
mendidik nafsuku, yang tidak melihat kebenaranMu
Ya Allah Tuhanku, bimbinglah hambaMu di dalam mendidik jiwaku ini.
Ya Allah Tuhanku, bimbinglah hambaMu di dalam mendidik jiwaku ini.
Saudaraku,
aku teringat kisah tentang akal dan nafsu ketika pertama kali diciptakan Allah.
Akal dihadapkan kepada Allah dan ditanya siapa Allah, maka akal pun menjawab
bahwa Allah adalah Tuhannya dan ia adalah hamba-Nya. Setelah itu nafsu
dihadapkan kepada Allah dan ditanya siapa Allah. Maka nafsu menjawab, “Engkau
ya engkau, aku ya aku.” Dan Allah memasukkan nafsu dalam neraka. Kemudian nafsu
dihadapkan kembali dan ditanya seperti semula. Namun lagi-lagi nafsu menjawab
hal yang sama pula. Nafsu pun dimasukkan kembali ke dalam neraka. Begitu
seterusnya hingga 3 kali nafsu menjalani siksa neraka, barulah ia mengakui
bahwa Allah adalah Tuhannya dan ia adalah hambaNya.
Saudaraku,
apa keistimewaan manusia dibandingkan mahluk Allah yang lain..? Manusia
dikaruniai akal dan nafsu dalam dirinya. Berbeda dengan malaikat yang hanya
dikaruniai akal saja, juga binatang yang hanya dikaruniai nafsu saja. Sehingga
manusia digambarkan bisa lebih utama dari malaikat jika ia sanggup
mengendalikan hawa nafsunya, dan manusia bisa lebih hina dari binatang jika
akalnya dikalahkan oleh hawa nafsunya.
Para
ulama membagi nafsu menjadi 3 yaitu nafsu ammarah, nafsu lawwamah, dan nafsu
mutmainah. Manusia yang memiliki nafsu ammarah sepanjang hidupnya akan
dikendalikan oleh hawa nafsunya. Orang-orang semacam ini tak ubahnya seperti
binatang. Manusia yang memiliki nafsu lawwamah, akan labil. Kadang ia mengikuti
akalnya, kadang mengikuti nafsunya. Namun kecenderungan mengikuti nafsunya
lebih besar daripada akalnya. Yang terakhir, manusia yang memiliki nafsu
mutmainah. Nafsunya mengikuti akalnya sehingga ia selalu berhati-hati tidak
terburu-buru dan gegabah menuruti keinginan nafsunya. Manusia-manusia inilah
yang diseru Allah untuk memasuki surga-Nya. Mari kita simak QS Al Fajri (89):
27-30: “Wahai nafsul mutmainah (jiwa yang tenang), kembalilah kepada Tuhanmu
dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah
hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam syurga-Ku.” Alangkah indahnya orang yang
memiliki nafsu mutmainah, bahkan Allah Ta’ala pun memanggil-manggil mereka
untuk masuk dalam surgaNya.
Saudaraku,
apakah saat ini kita telah menjadi tuan bagi nafsu kita...? Atau jangan-jangan
saat ini kita justru masih diperbudak nafsu kita. Tengoklah dalam kehidupan
sehari-hari. Pada saat seruan Allah yang mulia berkumandang tanda Maghrib tiba
-saat itu pula serial sinetron Sholeha sedang diputar- sudahkah kita segera mengambil
air wudhu dan melaksanakan sholat jamaah? Atau justru kita menanti hingga iklan
TV datang baru kemudian kita mengambil air wudhu dan mengerjakan/ mendirikan
sholat setengah terburu-buru karena takut filmnya sudah mulai lagi.
Rasa-rasanya kalau kita minta surga kok belum pantas ya? Itu baru 1 hal sepele.
Mari kita tengok yang lain. Saat tengah malam tiba-tiba kita terbangun dan
secepat itu ingat bahwa malam itu ada pertandingan sepak bola antara Manchester
United melawan Intermilan. Berjam-jam kita tonton tv dengan asyiknya. Kita lupa
pada kantuk kita. Pernahkah kita tiba-tiba bangun pada malam hari, segera ingat
Allah, segera ingat tahajjud kemudian segera mendirikannya dan berjam-jam kita
bermunajat kepada Allah dalam urai air mata dan bertobat kepadaNya...?
Kita
punya uang 10.000, tiba-tiba kita ingin jajan bakso. Secepat itu uang kita
berpindah kepada penjual bakso dan semangkok bakso sudah bisa kita nikmati.
Namun pernahkah pada saat kita punya 10.000 ingat infak sodaqoh, dan secepat
itu pula uang kita berpindah ke kotak infak...? Rasanya uang 20.000 kecil bila
dibawa ke supermarket, namun sangat besar jika dibawa ke masjid untuk di infakkan.
Subhanallah, saya jadi teringat suatu ketika Rasulullah sedang mengimami
sholat, kemudian seakan-akan Beliau mempercepat sholatnya. Begitu sholat usai,
Beliau langsung masuk rumah Beliau tidak berdzikir dulu sebagaimana biasanya.
Para sahabat heran, ada apa gerangan...? Rupanya hari itu Rasulullah SAW
mendapat hadiah berupa beberapa uang dinar. Dan Rasulullah tidak ingin uang
tersebut berlama-lama ada di dalam rumahnya. Rasulullah saw mengambil uang
tersebut ba’da sholat dan segera membagi-bagikannya kepada para sahabatnya.
Sungguh teladan yang mulia.
Saudaraku,
nafsu akan terus memperbudak kita jika tidak kita paksa. Mari kita simak
bagaimana orang-orang beriman telah memaksa nafsu mereka dalam As Sajdah (32)
15-16: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Kami adalah
orang-orang yang apabila diperingatkan dengan ayat-ayat Kami mereka menyungkur
sujud dan bertasbih memuji Tuhannya, sedang mereka tidak menyombongkan diri.
Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdoa kepada Allah
dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang
Kami berikan kepada mereka.”
Wahai saudaraku,
ingatlah bahwa kita adalah hamba Allah. Tidak sepatutnya seorang hamba (abdi)
memperturutkan nafsunya di depan Majikannya. Tidak sepatutnya seorang hamba
berbuat seenaknya sedangkan Majikannya selalu mengawasi. Maka marilah kita bina
nafsu kita menjadi nafsu mutmainah dan insya Allah kita termasuk dalam golongan
yang mendapat panggilan Allah untuk memasuki surgaNya. Amien.
Ya
Allah, saksikanlah bahwa isi dalam blog ini telah hamba sampaikan kepada
siapapun yang membaca artikel ini, Sadarkanlah hati kami agar tidak memperturutkan
hawa nafsu yang tidak berguna.
Amiin yaa robbal aalamiin.
Semoga Bermanfaat
0 comments:
Posting Komentar