Raden Sahid - Sunan Kalijaga |
Raden Sahid yang kelak dikenal dengan sebutan Sunan Kalijaga adalah putra Tumenggung Wilatikta, Bupati Tuban. Selain Raden Sahid, Sunan Kalijaga dikenal dengan sejumlah nama lain, yaitu Syaikh Melaya, Lokajaya, Raden Abdurrahman, Pangeran Tuban, dan Ki Dalang Sida Brangti. Nama-nama tersebut memiliki kaitan erat dengan sejarah perjalanan hidup tokoh Wali Songo ini dari sejak bernama Sahid, Lokajaya, hingga Sunan Kalijaga.
Menurut Babad Tuban, kakek Sunan Kalijaga yang bernama Aria Teja, nama aslinya adalah Abdurrahman, orang keturunan Arab. Karena berhasil mengislamkan Adipati Tuban yang bernama Aria Dikara, Abdurrahman mengawini putri Aria Dikara. Ketika menggantikan kedudukan mertuanya sebagai Bupati Tuban, Abdurrahman menggunakan nama Aria Teja. Dari perkawinan dengan putri Aria Dikara ini, Aria Teja memiliki putra bernama Aria Wilatikta. Sebelum menikah dengan putri Aria Dikara, Aria Teja telah menikah dengan putri Raja Surabaya yang bernama Aria Lembu Sura. Dari pernikahan itu, Aria Teja memiliki seorang putri yang dikenal dengan nama Nyai Ageng Manila yang kelak diperistri Sunan Ampel. Sejalan dengan Babad Tuban, C.L.N. Van Den Berg dalam “Le Hadhramaut et les Colonies Arabes dans l’Archipel Indien” (1886), menyatakan bahwa Sunan Kalijaga adalah keturunan Arab.
Silsilah dari R.M. Mohammad
Soedio- ko ini betemu dengan sumber Babad
Tuban dan pendapat H.J. De Graaf maupun Van Den Berg, yang
menyebutkan Sunan Kalija- ga adalah keturunan Arab dari galur Sayidi- na Abbas
bin Abdul Munthalib, paman Nabi Muhammad Saw. Namun, terdapat perbe- daan di
antara silsilah-silsilah tersebut. Pada Babad
Tuban dan silsilah yang diajukan H.J. De Graaf disebutkan
kakek Sunan Kalijaga yang bernama Aria Teja adalah seorang tokoh berdarah Arab
bernama Abdu- rrahman. Sementara itu, menurut silsilah dari keluarga R.M.
Mohammad Soedio- ko, kakek Sunan Kalijaga adalah Bupati Tuban yang bernama
Rangga Tejalaku, sedangkan tokoh bernama Abdurrah- man adalah canggah dari
Sunan Kalijaga, yaitu kakek dari kakek Sunan Kalijaga. Sementara menurut C.L.M.
Van Den Berg, kakek Sunan Kalijaga adalah Lem- bu Kusuma, putra Teja Laku.
Menilik kemiripan nama Aria Teja
dengan nama Rangga Tejalaku dan Teja Laku, dapat ditafsirkan nama itu sejatinya
menunjuk pada satu tokoh sejarah yang sama dengan tiga nama berbeda, sehingga
sangat mungkin tokoh sejarah yang disebut Aria Teja, Rangga Tejalaku, atau Teja
Laku itu adalah tokoh bernama Abdurrahman, yaitu tokoh yang memiliki nama sama
dengan nama kakeknya karena nama-nama seperti Abdurrah- man digunakan secara
umum oleh penguasa-penguasa muslim pada era Demak; Sunan Kalijaga sendiri
selaku putra Bupati Tuban menggunakan nama Pangeran Abdurrahman. Yang
pasti, semua sumber, baik Babad
Tuban maupun sumber yang digunakan Van Den Berg, De Graaf, dan
R.M. Mohammad Soedioko menunjuk bahwa ayah Raden Sahid Su- nan Kalijaga adalah
Aria Wilatikta Bupati Tuban, yaitu bupati yang memiliki nama asli Abdul Syukur,
yang menikah dengan Putri Nawangarum dan menurunkan Raden Sahid Sunan Kalijaga
sebagaimana disebut dalam Babad
Demak, Pupuh III langgam Ron ing
Kamal, sebagai berikut.
Nawangarum ingkang nama/ Raden
Sukur garwa neki/ lama-lama apaputra/ kekalih kang sepuh esteri/ ingkang nama
Dewi Sari/ ana dene kang weruju/ Raden Sahid nama nira/ Raden Sukur duk ingoni/
kang pilenggah tumenggung ing Wilatikta//
Kisah awal tokoh yang kelak dikenal dengan sebutan Sunan Kalijaga ini dimulai dengan kisah mengenai masa mudanya yang diliputi kenakalan, dengan kegiatan-kegiatan tercela: suka berjudi, minum minuman keras, mencuri sampai diusir oleh orang tuanya yang malu dengan kelakuan putranya. Namun, dengan diusir, dia tidak menjadi baik, malah semakin nakal dengan menjadi perampok yang membuat kerusuhan di Hutan Jatisari dan membuat semua orang ketakutan. Serat Walisana dalam langgam Asmaradana pupuh XIX, menuturkan masa muda Sunan Kalijaga yang menggunakan nama Raden Sahid dengan kenakalan-kenakalannya itu, sebagai berikut.
Kang dadya sirah mengkoni/ pan
tumenggung wilatikta/ adarbe putra sawiyos/ raden sahid namanira/ ingkang
sampun kasura/ andugalira kalangkung/ karena madat ngabotohan// keplek kecek
dadu-posing/ karam nyebrot ngabotohan/ tinundung ing sudarma/ dadya tan suda
pamursalipun/ mandar sangsaya andadra// dadya wana jatisari/ tuntrim tan ana
wong ngambah/ pan samya jrih sadayane/ sikaranira rahadyan/ amateni dedalan//
Dengan kenakalan yang tidak lazim, yang berlanjut menjadi perampok yang tidak segan membunuh orang, Raden Sahid dikenal dengan sebutan Lokajaya. Namun, atas dakwah Sunan Bonang, yang saat dirampok mampu menunjukkan kesaktian mengubah buah aren menjadi emas, Raden Sahid bertobat dan berusaha keras menjadi manusia agung yang mulia, yang bahkan akhirnya menjadi salah seorang anggota Wali Songo. Gelar Lokajaya sendiri bermakna ‘penguasa wilayah’ karena kata Loka (tempat, wilayah, daerah) dan Jaya (menang, menguasai). Dari satu sisi nama Lokajaya, dapat ditafsirkan memiliki kaitan dengan simbol-simbol tantrisme, karena sebutan Lokajaya semakna dengan Wisesa Dharani (penguasa bumi), Cakrabumi (pemimpin lingkaran cakra), Cakrabuwana yang lazim digunakan oleh pengamal ajaran Bhairawa-Tantra. Jika asumsi itu benar, maka sebutan Lokajaya sangat relevan berhubungan dengan Kalijaga, yakni nama salah satu dari tiga ksetra utama di pesisir utara Jawa, yaitu Kalitangi (di Gresik, Jawa Timur), Kaliwungu (di Kendal, Jawa Tengah), dan Kalijaga (di Cirebon, Jawa Barat) yang ketiga-tiganya memiliki makna ‘Dewi Kali (Sang Bumi) bangun’. Itu berarti, kisah di balik nama Lokajaya dan Kali Jaga lebih masuk akal dikaitkan dengan cerita perjalanan Sunan Kalijaga saat mengikuti Syaikh Siti Jenar ke berbagai tempat di Jawa dalam rangka membuat “tawar” kekuatan ksetra-ksetra angker yang menjadi tempat upacara para pemuja Dewi Kali Sang Bumi.
Selain nama Lokajaya dan Raden Sahid, Sunan Kalijaga pada awalnya juga disebut
dengan nama Syaikh Melaya. Serat Walisana menjelaskan bahwa nama Syaikh Melaya
yang digunakan Sunan Kalijaga, berkaitan dengan fakta bahwa ia adalah putra
Tumenggung Melayakusuma di Jepara. Tumenggung Melayakusuma, mulanya orang
asing dari negeri Atas Angin yang datang ke Jawa dan diangkat menjadi Bupati
Tuban oleh Sri Prabu Brawijaya, sehingga menggunakan nama Wilatikta. Penyebutan
nama negeri Atas Angin dalam Walisana, sangat menarik didalami karena menurut
W.J. Van Der Meulen dalam Indonesia di Ambang Sejarah (1988) kata “Atas Angin”
adalah salah ucap dari “atta-anggin” yaitu ‘yang kehilangan semua anggota
badannya’ (Rahu), yang berhubungan dengan bhairawa-tantrisme. Keterkaitan
nama-nama yang digunakan Sunan kalijaga dengan simbol-simbol
bhairawa-tantrisme, tampaknya berkaitan dengan guru ruhaninya, Sunan Bonang,
yang sewaktu dakwah di Kediri berhadapan dengan tokoh-tokoh pemuka Bhairawa-Tantra
yang berusaha menghalang-halanginya.
Serat Kandhaning Ringgit Purwa menggambarkan bahwa satu ketika
Sunan Kalijaga meminta izin ingin menunaikan ibadah haji ke Mekah, karena Sunan
Bonang meminta agar ia seyogyanya menjalani ibadah zhahir sesuai dalil al-
Qur’an dan hadits.
(he jebeng kurang utama/ yen sira
durung netepi/ ing lair iki sedaya/ saujare dalil sami/ miwah ing sajroning
kadis/ pratelakna puniku/ raden sahit tur sendika/ umatur dhateng sang yogi/
nuwun idin kawula arsa ing Mekah//).
Namun, sewaktu sampai di Pulau
Pinang, Sunan Kalijaga bertemu dengan Maulana Maghribi yang memintanya untuk
kembali ke Jawa, dengan alasan lebih baik membuat masjid-masjid untuk
pengembangan dakwah Islam daripada sekadar melihat Mekah zhahir bikinan Nabi Ibrahim,
yang jika tidak bisa meninggalkan gambarannya malah akan menjadi kafir.
(raden sahit mentar aglis/ ing
marga datan winarni/ anumpang wong dagang iku/ prapta ing pulo pinang/ leren
wau jraganeki/ raden sahit ing dalu apan kapanggya// lan seh sahit maulana/
mahribi wau kang nami/ seh mahribi angandika/ maring ngendi sira bayi/
kapanggih aneng ngriki/ raden sahit alon matur/ arsa kaji ing Mekah/ anglampahi
ingkang lair/ seh mahribi mengsem wau angandika//ki bayi sira baliya/ tan ana
ing Mekah iki/ Mekah ing kulon punika/ Mekah lair westaneki/ pra nata araneki/
nabi Ibrahim karya iku/ sing sapa atinggala/ sayekti puniku kapir/ yen tetepa
munapek wong iku iya///).
Sementara itu, sebagaimana Sunan
Bonang yang dididik di dalam lingkungan keluarga ibunya yang berasal dari
keluarga Bupati Tuban, Sunan Kalijaga pun mempelajari kesenian dan budaya Jawa,
yang membuatnya memahami dan menguasai kesusastraan Jawa beserta pengetahuan
falak serta pranatamangsa dari keluarganya, dan terutama dari Sunan Bonang.
Babad Demak menuturkan bahwa
Raden Sahid putra Adipati Wilatikta mengawali dakwah di Cirebon, tepatnya di
desa Kalijaga, untuk mengislamkan penduduk Indramayu dan Pamanukan (Raden Sahid
kinon ngimani/ ing Dermayu lan Manukan/ ing Kalijaga pernahe/).
Petilasan Sunan Kalijaga, Cirebon 1910 |
Setelah melakukan uzlah selama
tiga bulan lebih sepuluh hari, laku ruhani Raden Sahid diterima Tuhannya, ia
diangkat menjadi wali dengan gelar Sunan Kalijaga (Sampun angsal tigang sasi,
lan punjul sedasa dina, tinarima ing Gustine, sinung derajat waliyullah, nama
Sunan Kalijaga). Banyak orang menjadi pengikutnya dan mengabdi kepada Tuhan
(akeh wadiya ingkang anut, ngabekti maring Pangeran).
Babad Cerbon menuturkan bahwa
Sunan Kalijaga tinggal selama beberapa tahun di Desa Kalijaga dengan mula-mula
menyamar sebagai pembersih Masjid Sang Cipta Rasa. Di masjid itulah Sunan
Kalijaga bertemu dengan Sunan Gunung Jati yang kemudian menikahkannya dengan
adiknya yang bernama Siti Zaenab. Isteri Sunan Kalijaga yang bernama Siti
Zaenab, menurut sumber yang diyakini penganut Tarekat Akmaliyah yang ditulis
Agus Sunyoto dalam Suluk Malang Sungsang (2004-2005) sesungguhnya adalah putri
dari Syaikh Datuk Abdul Jalil yang masyhur disebut Syaikh Lemah Abang atau
Syaikh Siti Jenar. Dari pernikahan tersebut, Sunan Kalijaga memiliki satu putra
bernama Watiswara yang dikenal dengan nama Sunan Panggung, seorang putri
kembarannya bernama Watiswari, dan seorang putri bernama Ratu Champaka.
Babad Demak menuturkan bahwa Sunan Kalijaga di Cirebon memiliki
tiga putra, yaitu satu putra dan dua putri: Raden Sangid, Dewi Ruqiyah, dan
Dewi Rufi’ah (Raden Sahid asesiwi, tiga sami jalu nira, kang sepah Raden Sangid
namane, pawesteri ingkang penengah, Dewi Rukiyah kang nama, isteri malih
ragilipun, Dewi Rufingah namanya).
Dalam menjalankan dakwah Islam,
Sunan Kalijaga dikenal suka menyamar dan bertindak menampilkan kelemahan diri
untuk menyembunyikan kelebihan yang dimilikinya. Bahkan, tak jarang Sunan
Kalijaga sengaja menunjukkan tindakan yang seolah maksiat untuk menyembunyikan
ketakwaannya yang tinggi sebagaimana dicatat dalam Sejarah Banten Rante-rante
yang dikutip Hoesein Djajadiningrat dalam Tinjauan Kritis Tentang Sajarah
Banten (1983) sebagai berikut.
“Para wali sedaya sami ma’lum/
jebeng Kalijaga/ masyhur akeh lelewane/ wali saturul ‘adalah/ kang tinilad//
ngatokaken ma’siyat ginawe singlu/ mungguh kang bebasan/ pinter aling-aling
bodoh/ jalma luwih alingan bidak walaka//”
Seperti wali-wali lain, dalam
berdakwah, Sunan Kalijaga sering mengenalkan Islam kepada penduduk lewat
pertunjukan wayang yang sangat digemari oleh masyarakat yang masih menganut
kepercayaan agama lama. Dengan kemampuannya yang menakjubkan sebagai dalang
yang ahli memainkan wayang, Sunan Kalijaga selama berdakwah di Jawa bagian
barat dikenal penduduk sebagai dalang yang menggunakan berbagai nama samaran.
Di daerah Pajajaran, Sunan Kalijaga dikenal penduduk dengan nama Ki Dalang Sida
Brangti. Di daerah Tegal, Sunan Kalijaga dikenal sebagai dalang barongan dengan
nama Ki Dalang Bengkok. Di Daerah Purbalingga, Sunan Kalijaga dikenal sebagai
dalang topeng dengan nama Ki Dalang Kumendung; sedangkan di Majapahit dikenal
sebagai dalang dengan nama Ki Unehan. Kegiatan dakwah memanfaatkan pertunjukan
tari topeng, barongan, dan wayang yang dilakukan Sunan Kalijaga dengan cara
berkeliling dari satu tempat ke tempat lain itu digambarkan dalam Babad Cerbon
dalam langgam Kinanthi, sebagai berikut.
Dadi dadalang kekembung/ anama Ki
Seda Brangti/ apahe yen ababarang/ ika kalimah kakalih/ singa gelem ngucapena/
ya dadi tanggane nyuling// sakedap dadalang pantun/ sang pajajaran dumadi/ akeh
Islam dening tanggapan/ katelah dalang pakuning/ sakedap dadalang wayang/
maring Majapait dumadi// akeh Islam dening iku/ katelah dalang kang nami/ sang
Koanchara konjara purba/ tanggape bari gampil/ mung muni Kalimah Sahadat/ dadi
akeh sami Muslim
Menurut Babad
Cerbon ini, diketahui bahwa selama menjadi dalang berkeliling
ke berbagai tempat, Sunan Kalijaga kadang menjadi dalang pantun dan dalang
wayang. Sunan Kalijaga berkeliling dari wilayah Pajajaran hingga wilayah
Majapahit. Masyarakat yang ingin nanggap wayang
bayarannya tidak berupa uang, melainkan cukup membaca dua kalimat syahadat,
sehingga dengan cara itu Islam berkembang cepat.
Di antara berbagai lakon wayang
yang lazimnya diambil dari epos Ramayana dan Mahabharata, salah satu yang
paling digemari masyarakat adalah lakon Dewa Ruci, yaitu lakon wayang yang
merupakan pengembangan naskah kuno Nawa Ruci. Lakon Nawa Ruci atau Dewa Ruci
mengisahkan perjalanan ruhani tokoh Bima mencari Kebenaran di bawah bimbingan
Bhagawan Drona sampai ia bertemu dengan Dewa Ruci. Sunan Kalijaga dikenal
sangat mendalam memaparkan kupasan-kupasan ruhaniah berdasar ajaran tasawuf
dalam memainkan wayang lakon Dewa Ruci, yang menjadikannya sangat masyhur dan
dicintai oleh masyarakat dari berbagai lapisan. Bahkan, tidak sekadar memainkan
wayang sebagai dalang, Sunan Kalijaga juga diketahui melakukan reformasi
bentuk-bentuk wayang yang sebelumnya berbentuk gambar manusia menjadi gambar
dekoratif dengan proporsi tubuh tidak mirip manusia.
Selain itu, Sunan Kalijaga juga
memunculkan tokoh-tokoh kuno Semar, Gareng, Petruk, Bagong, Togog, dan Bilung
sebagai punakawan yang mengabdi kepada para ksatria, yang kesaktian punakawan
ini melebihi dewa-dewa. Dalam kisah Ramayana dan Mahabharata yang asli, tidak
dikenal tokoh-tokoh punakawan Semar beserta keempat orang putranya itu. Bahkan,
dalam lakon wayang beber, tokoh-tokoh punakawan yang dikenal adalah Bancak dan
Doyok. Sejumlah lakon wayang carangan seperti Dewa Ruci, Semar Barang Jantur,
Petruk Dadi Ratu, Mustakaweni, Dewa Srani, Pandu Bergola, dan Wisanggeni, diketahui
diciptakan oleh Wali Songo terutama Sunan Kalijaga.
Th.G.Th. Pigeaud dalam Javaansche Volkvertoningen. Bijdrage tot de
Beschrijving van Land en Volk (1938) menegaskan bahwa dugaan
pertunjukan boneka wayang sebagai permainan yang terpisah sudah ada sejak dulu
dan kemudian diisi dengan mistik Islam adalah tidak benar. Sebab, semua orang
tahu bahwa berita-berita mengenai wali-wali penyebar Islam; mereka itulah yang
memberi peranan penting pada tujuan pertunjukan wayang dalam bentuknya yang
sekarang. Itu berarti, pertunjukan wayang purwa adalah benar-benar hasil kreasi
para Wali Songo, terutama Sunan Kalijaga dalam mereformasi secara menyeluruh
seni pertunjukan wayang.
Menurut Primbon milik K.H.R. Mohammad
Adnan, sebagaimana Sunan Bonang yang menyempurnakan ricikan gamelan dan
menggubah irama gending, Sunan Kalijaga menciptakan lagu sekar ageng dan sekar alit serta
menyempurnakan irama gending-gending sebagaimana sudah dikerjakan oleh Sunan
Bonang (kanjeng susuhunan lepen jagi, hamewahi
lagunipun sekar hageng hutawi sekar alit, kaliyan hamewahi lagunipun hing
gending kados susuhunan bonang wahu).
Di antara tembang-tembang gubahan
Sunan Kalijaga yang termasyhur dan paling banyak dihafal oleh masyarakat Jawa
adalah Kidung Rumeksa ing Wengi yang
disampaikan dalam langgam dandhanggula, sebagai berikut.
Ana kidung rumeksa ing wengi/
teguh ayu luputa ing lara/ luputa bilahi kabeh/ jin setan datan purun/
paneluhan tan ana wani/ miwah panggawe ala/ gunane wong luput/ geni atemahan
tirta/ maling adoh tan ana ngarah ing kami/ guna duduk pan sirna//
Sakehing lara pan samya bali/
sakehing ama sami miruda/ welas asih pandulune/ sakehing braja luput/ kadi
kapuk tibanireki/ sakehing wisa tawa/ sato kurda tutut/ kayu aeng lemah sangar/
songing landak/ guwaning mong lemah miring/ myang pakiponing merak//
Tembang gubahan Sunan Kalijaga
lainnya, yang sederhana tetapi memuat ajaran spiritual, yang juga banyak
dihafal masyarakat Jawa adalah tembang Ilir-ilir, sebagai berikut.
Lir-ilir lir-ilir tandhure wis
sumilir/ sing ijo royo-royo/ tak sengguh penganten anyar/ cah angon cah angon/
penekna blimbing kuwi/ lunyu-lunyu penekna/ kanggo masuh dodotira/ dodotiro
dodotiro/ kumitir bedah ing pinggir/ dondomana jlumatana/ kanggo seba mengko
sore/ mumpung padhang rembulane/ mumpung jembar kalangane/ yo surako surak
hore//
Di antara Wali Songo, Sunan
Kalijaga dikenal sebagai wali yang paling luas cakupan bidang dakwahnya dan
paling besar pengaruhnya di kalangan mas- yarakat. Sebab, selain berdakwah
dengan cara berkeliling dari satu tempat ke tempat lain sebagai dalang,
penggubah tembang, pamancangah men- men (tukang dongeng kelil- ing), penari
topeng, desainer pakaian, perancang alat-alat pertanian, penasihat sultan dan
pelindung ruhani kepala-kepala daerah, Sunan Kalijaga juga dikenal sebagai guru
ruhani yang mengajarkan tarekat Syathariyah dari Sunan Bonang sekaligus tarekat
Akmaliyah dari Syaikh Siti Jenar, yang sampai saat sekarang ini masih diamalkan
oleh para pengikutnya di berbagai tempat di Nusantara.
Pelajaran tarekat dalam bentuk
laku ruhani yang disebut mujahadah, muraqabah, dan musyahadah secara arif
disampaikan Sunan Kalijaga baik secara tertutup (sirri) maupun secara terbuka.
Pelajaran yang disampaikan secara tertutup diberikan kepada murid-murid ruhani
sebagaimana layaknya proses pembelajaran di dalam sebuah tarekat. Sementara
itu, pelajaran yang disampaikan secara terbuka, dilakukan melalui pembabaran
esoteris kisah-kisah simbolik dalam pergelaran wayang, sehingga menjadi pesona
tersendiri bagai masyarakat dalam menikmati pergelaran wayang yang digelar
Sunan Kalijaga.
Di dalam pergelaran wayang lakon Dewa Ruci, misal, Sunan Kalijaga menggambarkan bagaimana tokoh Bima yang mencari susuhing angin (sarang angin) bertemu dengan tokoh Dewa Ruci yang bertubuh sebesar ibu jari, tetapi Bima dapat memasuki tubuhnya. Selama berada di dalam tubuh Dewa Ruci itu, Bima menyaksikan dimensi- dimensi alam ruhani yang menakjubkan tergelar, di mana Sunan Kalijaga secara dialogis dan sekaligus monologis, menggunakan tokoh Bima memberi paparan makna secara ruhani tentang dimensi ruhani memesona yang disaksikan Bima.
0 komentar:
Posting Komentar