Fatimah binti Maimun |
Untuk sampai ke kompleks makam
Fatimah binti Maimun, dapat dilakukan dengan kendaraan pribadi maupun kendaraan
umum dari Gresik atau dari Surabaya. Dari Surabaya, kendaraan pribadi dapat
mencapai Leran melalui jalan tol jalur Demak-Tandes-Manyar. Dari pintu keluar
tol Manyar, kendaraan meluncur ke barat sekitar 4-5 km belok ke kiri sudah
masuk Leran dengan tanda papan petunjuk ke makam Fatimah binti Maimun
terpasang di pinggir jalan raya. Jika menggunakan kendaraan umum, peziarah
harus berangkat dari Gresik dengan menggunakan bus atau angkutan umum jurusan
Gresik-Sedayu- Paciran-Tuban.
Ditinjau dari aspek toponim,
nama-nama dusun sekitar makam Fatimah binti Maimun menunjuk pada kekhususan
wilayah pada masa silam. Toponim Wangen (tapal batas), Pasucian (tempat suci),
Penganden (Tempat kaum ningrat), Kuti (Vihara Buddha), dan Daha (kemerahan)
menunjuk kawasan sekitar kompleks makam adalah wilayah khusus berstatus sima
yang bebas pajak dan dikeramatkan oleh masyarakat.
Menurut J.P.Moquette dalam De Oudste Mochammadaansche Inscriptie op Java (op de Grafsteen te Leran) yang membaca inskripsi pada batu nisan makam Fatimah binti Maimun, yang berangka tahun 475 H itu, bunyi tulisannya sebagai berikut.
Bismillahirrahmanirrahim, kullu man alaiha fanin wa yabqa wajhu rabbika dzul jala li wal ikram. Hadza qabru syahidah Fathimah binti Maimun bin Hibatallah, tuwuffiyat fî yaumi al-Jum’ah… min Rajab wa fî sanati khamsatin wa tis’ina wa arba’ati mi`atin ila rahmat (sebagian orang membaca “wa tis’ina” dengan “wa sab’ina”) Allah.. Shadaqallahal azhim wa rasulihi al-karim.
Menurut Prof. H.M. Yamin,
terjemahan J.P. Moquette atas inskripsi batu nisan makam Fatimah binti Maimun
itu sebagai berikut :
Dengan nama Tuhan yang Maha
Penyayang dan Maha Pemurah. Tiap-tiap makhluk yang hidup di atas bumi ini
adalah bersifat fana. Tetapi wajah Tuhanmu yang bersemarak dan gemilang tetap
kekal adanya. Inilah kuburan wanita yang menjadi korban syahid, bernama Fatimah
binti Maimun, putr[a] Hibatallah, yang berpulang pada hari Jumat ketika tujuh
sudah berlewat dalam bulan Rajab dan pada tahun 495 H (sebagian membaca 475 H),
[yang menjadi kemurahan Tuhan Allah yang Mahatinggi], beserta Rasul-Nya yang
mulia.
Di balik bidang batu nisan
Fatimah binti Maimun yang berangka tahun 475 H/495 H itu, terdapat petikan ayat
al-Qur’an Surah ar-Rahman ayat 55. Petikan ayat al-Qur’an tersebut ditulis
dengan huruf kufi. Menurut Hasan Muarif Ambary dalam Menemukan
Peradaban: Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia, petikan
ayat al-Qur’an tersebut memiliki korelasi kuat dengan aliran pembawa agama
Islam awal di Indonesia. Dari kajian epigrafis terhadap makam Fatimah binti
Maimun, dapat ditelusuri jenis huruf kufi yang ditulis dan bahan batu nisan,
memiliki kesamaan dengan sebuah makam kuno di Pandurangga (Panh-Rang) di
wilayah Champa di Vietnam bagian selatan. Kedua batu nisan bertuliskan kufi itu
merupakan bukti arkeologis tertua kehadiran Islam di Asia Tenggara pada abad
ke-5 H/ke-11 M.
Angka tahun 475 H atau 495 H jika dikonversi dengan tahun Masehi bertepatan dengan tahun 1082 atau 1102 Masehi. Menurut Jere L. Bacharach dalam The Middle East Studies Handbook, tanggal 1 Muharram 475 H sama dengan 1 Juni 1082 M. 1 Muharram 495 H sama dengan 26 Oktober 1101 M. Jika bulan hijriyah jatuh pada bulan ketujuh atau Rajab maka bulan Rajab tahun 475 H tepat dengan tahun 1082 Masehi. Sedangkan bulan ketujuh pada tahun 495 H jatuh pada tahun 1101 M. Jadi, pembacaan inskripsi batu nisan makam Fatimah binti Maimun lebih sesuai dengan tahun 475 H.
Berdasar hasil galian arkeologis
di Dusun Leran, Desa Pesucian, Manyar, Gresik di sekitar kompleks makam Fatimah
binti Maimun yang berupa mangkuk- mangkuk keramik berasal dari abad ke-10 dan
ke-11 Masehi. Dapat diketahui bahwa di sekitar tempat tersebut pernah tinggal
komunitas pedagang yang memiliki jaringan dengan Cina di utara dan India di
selatan serta Timur Tengah. Menurut Laporan Penelitian Arkeologi di Situs
Pesucian, Kecamatan Manyar (1994-1996), Leran di masa lampau merupakan
pemukiman perkotaan dan perdagangan. Di antara pemimpin yang ada pada waktu itu
adalah Fatimah binti Maimun. Kata asy-Syâhidah yang
tertulis dalam inskripsi bisa dimaknai wanita korban syahid’ seperti
ditafsirkan H.M. Yamin, namun bisa juga dimaknai ‘pemimpin wanita’.
Bukti galian arkeologis dan
inskripsi pada batu nisan makam Fatimah binti Maimun, pada satu sisi dapat
dihubungkan dengan para migran Suku Lor asal Persia yang pada abad ke-10 Masehi
bermigrasi ke Jawa dengan mendirikan pemukiman bernama Loram dan Leran. Itu
berarti, Fatimah binti Maimun yang wafat pada hari Jumat, bulan Rajab, tahun
475 H/1082 M itu, bukanlah seorang wanita asing melainkan wanita kelahiran
setempat keturunan pemukim-pemukim awal Suku Lor yang tinggal di Loram dan
Leran sejak abad ke-10 Masehi. Tidak jauh di sebelah tenggara Leran terdapat
Desa Roma, yang menurut tradisi lisan nama desa tersebut berasal dari
bermukimnya lima orang Rum (Persia) di tempat tersebut pada masa silam.
“Pahinangi sang hyang sima ri Leran, purwa akalihan wates
galengan sidaktan lawangikang wangun, mangalor atut galenganing mangaran si
dukut, angalor atut galenganing tambak si bantawan, dumles angalor atut
galenging tamba ri susuk ning huluning batwan. mwah rahyangta kutik nguni
matengo irikan susuk ri batwan ngaranya.”
Menurut isi prasasti Leran, sima ri Leran adalah tanah
perdikan bebas pajak, yang sebagian penduduknya pedagang, batasnya di sebelah
timur berupa gerbang timur; di utara berbatasan dengan padang rumput yang
disebut milik Si Dukut; di utaranya pula berbatasan dengan tambak Si Bantawan;
lurus ke utara berbatasan dengan batu suci tanda sima di ujung batwan. Di
tempat suci bernama batwan ini bersemayam arwah suci Rahyangta Kutik.
Berdasar bunyi Prasasti Leran, di area sekitar makam Leran dimana terdapat makam Fatimah binti Maimun pada masa Singasari Majapahit pernah dijadikan daerah perdikan (sima) bebas pajak. Tetapi tidak jelas, apa yang disebut susuk ri batwan (tempat suci di batwan) yang dijadikan persemayaman arwah Rahyangta Kutik.
Sebab, di Dusun Leran tidak ditemukan bekas reruntuhan candi. Oleh karena itu, sangat besar kemungkinan yang disebut susuk ri batwan itu adalah makam Fatimah binti Maimun yang identitas Keislamannya pada abad ke-13 sudah kurang jelas. Penduduk Leran dan sekitarnya yang pada abad ke-13 banyak menganut agama Syiwa-buddha, kemungkinan menganggap makam Fatimah binti Maimun sebagai susuk (tempat suci) di batwan dan almarhumah Fatimah binti Maimun dianggap sebagai arwah suci Rahyangta Kutik, di mana kata kuti dalam bahasa Sanskerta bisa bermakna ‘biara Buddha’ dan bisa pula bermakna ‘gubuk’.
Di dalam naskah Buddhis berjudul Kunjarakarna, kutik dihubungkan
dengan kata dharma kutika kamulan katyagan,
yaitu makam suci persemayaman arwah yang mula-mula mendirikan pertapaan. Itu
berarti, di tanah perdikan Leran pernah hidup sekumpulan orang-orang di sebuah
pertapaan yang menganggap makam Fatimah binti Maimun sebagai tempat suci.
Di sekitar makam Fatimah binti Maimun berserak makam-makam lain yang tidak berangka tahun, tetapi menurut kajian arkeologis makam-makam tersebut memiliki pola ragam hias dari abad ke-16. Jenis nisannya seperti yang ditemukan di Champa, berisi tulisan berupa doa-doa kepada Allah. S.Q. Fatimi dalam Islam Comes to Malaysia menyatakan pendapat bahwa jenis tulisan kufi pada nisan di makam-makam sekitar makam Fatimah binti Maimun yang berisi doa, kemungkinan dibuat seorang penganut Syi’ah. Hal itu didasarkan argumen bahwa saat itu muslim yang datang ke Nusantara kebanyakan berasal dari Persia yang kemudian bermukim di timur jauh. Salah satu muslim asal Persia yang datang ke Nusantara, lanjut Fatimi, adalah suku Lor dari Persia yang melakukan migrasi ke Nusantara pada abad ke-10 Masehi.
Keberadaan makam-makam di sekitar
makam Fatimah binti ,Maimun yang menurut penelitian arkeologis berasal
dari abad ke-16 itu, sangat mungkin berkaitan dengan dakwah Islam yang
dilakukan oleh Syaikh Maulana Malik Ibrahim pada perempat akhir abad ke-14 dan
perempat awal abad ke-15. Menurut cerita masyarakat setempat, awal sekali ia
datang ke Jawa adalah di Desa Sembalo di sebelah Dusun Leran. Ia dikisahkan
mendirikan masjid untuk ibadah dan kegiatan dakwah di Desa Pesucian. Setelah
membentuk komunitas muslim di Pesucian, Syaikh Maulana Malik Ibrahim dikisahkan
pindah ke Desa Sawo di Kota Gresik.
Thomas S. Raffles dalam The History of Java, mencatat
cerita penduduk setempat yang menyatakan bahwa Syaikh Maulana Malik Ibrahim
adalah seorang pandita termasyhur berasal dari Arabia, keturunan Jenal Abidin
(Zainal Abidin), dan sepupu Raja Chermen, telah menetap bersama Mahomedans
(orang-orang Islam) lain di Desa Leran di Janggala. Kiranya makam-makam yang
berasal dari abad ke-16 itu, berhubungan dengan komunitas Islam yang dibentuk
Syaikh Maulana Malik Ibrahim di Leran pada perempat akhir abad ke-14. Dan,
tentunya mereka sangat memuliakan makam Fatimah binti Maimun yang dianggap
sebagai makam muslimah, yang lebih tua, sehingga mereka yang hidup pada abad
ke-16 itu merasa bangga dimakamkan di area makam tua yang dikeramatkan
tersebut.
Sumber : Buku Atlas Walisongo, Agus Sunyoto
0 komentar:
Posting Komentar