SEJARAH PARA
WALISONGO
Wali Songo adalah orang-orang yang menyebarkan agama Islam di
Indonesia terutama di Pulau Jawa. Mereka tinggal di pantai utara Jawa dari awal
abad 15 hingga pertengahan abad 16, di tiga wilayah penting yakni
Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta
Cirebon di Jawa Barat.
Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat
pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru: mulai dari
kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan
hingga pemerintahan.
Pesantren Ampel Denta dan Giri adalah dua institusi pendidikan
paling penting di masa itu. Dari Giri, peradaban Islam berkembang ke seluruh
wilayah timur Nusantara. Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati bukan hanya ulama,
namun juga pemimpin pemerintahan. Sunan Giri, Bonang, Kalijaga, dan Kudus
adalah kreator karya seni yang pengaruhnya masih terasa hingga sekarang.
Sedangkan Sunan Muria adalah pendamping sejati kaum jelata.
Era wali songo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam
budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol
penyebaran Islam di Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang
juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan
Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas
serta dakwah secara langsung, membuat wali songo lebih banyak disebut
dibanding yang lain.
Masing-masing tokoh tersebut mempunyai peran yang unik dalam
penyebaran Islam. Mulai dari Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri
sebagai "tabib" bagi Kerajaan Hindu Majapahit, Sunan Giri yang
disebut para kolonialis sebagai "paus dari Timur" hingga Sunan
Kalijaga yang mencipta karya kesenian dengan menggunakan nuansa yang dapat
dipahami masyarakat Jawa yakni nuansa Hindu dan Budha. Mungkin selama ini
banyak yang mengartikan bahwa wali songo itu jumlahnya sembilan orang,
namun bila kita telaah lebih jauh ternyata wali songo ini terdiri dari beberapa
orang dan melewati beberapa fase perkembangan.
FASE-FASE KEMUNCULAN WALISONGO
1. Fase Pertama Wali Songo
Islam telah menjadi agama di Nusantara khususnya pulau jawa, tetapi
pada masa itu masih terbatas pada keluarga pedagang yang menikah dengan warga
pribumi yang bermukim disekitar pelabuhan. Kerajan Majapahit dan Pajajaran
masih berdiri kuat, masyarakat pun masih banyak yang beragama Hindu. Keterangan
tentang situasi tersebut sampai kepada Sultan Muhammad I, penguasa Turki.
Kemudian beliau mengirim surat kepada para pembesar di pembesar Islam di Afrika
Utara dan Timur Tengah. Isinya meminta para ulama yang mempunyai karomah untuk
dikirim ke pulau Jawa. Maka terkumpullah sembilan ulama berilmu tinggi serta
memiliki karomah. Surat tersebut mendapat respon yang baik.
Pada tahun 808 Hijrah atau 1404 Masehi para ulama itu berangkat ke
Pulau Jawa. Mereka adalah:
1.Syekh Maulana Malik Ibrahim, berasal dari Turki
ahli mengatur negara. Berdakwah di Jawa bagian timur. Wafat di Gresik pada
tahun 1419 M. Makamnya terletak satu kilometer dari sebelah utara pabrik Semen
Gresik.
2.Syekh Maulana Ishak berasal dari Samarqand
(dekat Bukhara-Rusia Selatan). Beliau ahli pengobatan. Setelah tugasnya di Jawa
selesai Maulana Ishak pindah ke Pasai dan wafat di sana.
3.
Syekh Maulana
Ahmad Jumadil Kubra, berasal dari Mesir. Beliau berdakwah keliling. Makamnya di
Troloyo Trowulan, Mojokerto Jawa Timur.
4.Syekh Maulana Muhammad Al Maghrobi, berasal
dari Maghrib (Maroko), beliau berdakwah keliling. Wafat tahun 1465 M. Makamnya
di Jatinom Klaten, Jawa Tengah.
5.Syekh Maulana Malik Isroil berasal dari Turki, ahli mengatur negara.
Wafat tahun 1435 M. Makamnya di Gunung Santri.
6.
Syekh Maulana
Muhammad Ali Akbar, berasal dari Persia (Iran). Ahli pengobatan. Wafat 1435 M.
Makamnya di Gunung Santri.
7.Syekh Maulana Hasanuddin berasal dari
Palestina. Berdakwah keliling. Wafat pada tahun 1462 M. Makamnya disamping
masjid Banten Lama.
8.
Syekh Maulana
Aliyuddin berasal dari Palestina. Berdakwah keliling. Wafat pada tahun 1462 M.
Makamnya disamping masjid Banten Lama.
9.
Syekh
Subakir, berasal dari Persia, ahli menumbali (metode rukyah) tanah angker yang
dihuni jin-jin jahat tukang menyesatkan manusia. Setelah para Jin tadi
menyingkir dan lalu tanah yang telah netral dijadikan pesantren. Setelah banyak
tempat yang ditumbali (dengan Rajah Asma Suci) maka Syekh Subakir kembali ke
Persia pada tahun 1462 M dan wafat di sana. Salah seorang pengikut atau sahabat
Syekh Subakir tersebut ada di sebelah utara Pemandian Blitar, Jawa Timur.
Terdapat peninggalan Syekh Subakir berupa sajadah yang terbuat dari batu kuno
disana.
2. Fase Kedua Wali Songo
Pada periode kedua ini masuklah tiga orang wali
menggantikan tiga wali yang wafat. Ketiganya adalah:
1.
Raden
Ahmad Ali Rahmatullah, datang ke Jawa pada tahun 1421 M menggantikan Malik
Ibrahim yang wafat pada tahun 1419 M. Raden Ahmad berasal dari Cempa, Muangthai
Selatan (Thailand Selatan).
2.
Sayyid
Ja’far Shodiq berasal dari Palestina, datang di Jawa tahun 1436 menggantikan
Malik Isro’il yang wafat pada tahun 1435 M. Beliau tinggal di Kudus sehingga
dikenal dengan Sunan Kudus.
3.Syekh Syarif Hidayatullah, berasal dari
Palestina. Datang di Jawa pada tahun 1436 M. Menggantikan Syekh Maulana Ali
Akbar yang wafat tahun 1435 M. Sidang walisongo yang kedua ini diadakan di
Ampel Surabaya.
Para wali kemudian membagi tugas. Sunan Ampel, Syekh Maulana Ishaq
dan Syekh Maulana Jumadil Kubro bertugas di Jawa Timur. Sunan Kudus, Syekh
Subakir dan Syekh Maulana Al-Maghrobi bertugas di Jawa Tengah. Syekh Syarif
Hidayatullah, Syekh Maulana Hasanuddin dan Syekh Maulana Aliyuddin di Jawa
Barat. Dengan adanya pembagian tugas ini maka masing-masing wali telah
mempunyai wilayah dakwah sendiri-sendiri, mereka bertugas sesuai keahlian
masing-masing.
3. Fase Ketiga Wali Songo
Pada tahun 1463
M. Masuklah empat wali menjadi anggota Walisongo yaitu:
1.Raden Paku atau Syekh Maulana Ainul Yaqin
kelahiran Blambangan Jawa Timur. Putra dari Syekh Maulana Ishak dengan putri
Kerajaan Blambangan bernama Dewi Sekardadu atau Dewi Kasiyan. Raden Paku ini
menggantikan kedudukan ayahnya yang telah pindah ke negeri Pasai. Karena Raden
Paku tinggal di Giri maka beliau lebih terkenal dengan sebutan Sunan Giri.
Makamnya terletak di Gresik Jawa Timur.
2.Raden Said, atau Sunan Kalijaga, kelahiran
Tuban Jawa Timur. Beliau adalah putra Adipati Wilatikta yang berkedudukan di
Tuban. Sunan Kalijaga menggantikan Syekh Subakir yang kembali ke Persia.
3.Raden Makdum Ibrahim, atau Sunan Bonang, lahir
di Ampel Surabaya. Beliau adalah putra Sunan Ampel, Sunan Bonang menggantikan
kedudukan Maulana Hasanuddin yang wafat pada tahun 1462. Sidang Walisongo yang
ketiga ini juga berlangsung di Ampel Surabaya.
4. Fase Keempat Wali Songo
Pada tahun 1466 diangkat dua wali menggantikan dua yang telah wafat, yakni:
1.Raden atau Raden Fattah (Raden Patah)
Raden Patah merupakan murid dari Sunan Ampel, beliau putra Raja Brawijaya Majapahit. Pada tahun 1462 M, beliau diangkat sebaga Adipati Bintoro dan membangun Masjid Demak pada tahun 1465 M. pada tahun 1468 dinobatkan sebagai Sultan Demak.
Raden Patah merupakan murid dari Sunan Ampel, beliau putra Raja Brawijaya Majapahit. Pada tahun 1462 M, beliau diangkat sebaga Adipati Bintoro dan membangun Masjid Demak pada tahun 1465 M. pada tahun 1468 dinobatkan sebagai Sultan Demak.
2.Fathullah Khan, putra Sunan Gunung jati, beliau
dipilih sebagai anggota Walisongo menggantikan ayahnya yang telah berusia
lanjut.
5. Fase Kelima Wali Songo
Dalam fase ini, masuklah Sunan Muria atau Raden Umar Said, putra
Sunan Kalijaga menggantikan wali yang telah wafat. Konon Syekh Siti Jenar atau
Syekh Lemah Abang itu adalah salah satu anggota Walisongo, namun karena Syekh Siti
Jenar di kemudian hari mengajarkan ajaran yang menimbulkan keresahan umat dan
mengabaikan syariat agama maka Syekh Siti Jenar dihukum mati. Selanjutnya
kedudukan Syekh Siti Jenar digantikan oleh Sunan Bayat – bekas Adipati Semarang
(Ki Pandanarang) yang telah menjadi murid Sunan Kalijaga.
PARA
WALISONGO
A.
SYEKH MAULANA MALIK IBRAHIM ( SUNAN
GRESIK )
Syekh Maulana
Malik Ibrahim, atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy diperkirakan lahir di
Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma
menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah Jawa terhadap
As-Samarkandy, berubah menjadi Asmarakandi. Maulana Malik Ibrahim kadang juga
disebut sebagai Syekh Magribi. Sebagian rakyat malah menyebutnya Kakek Bantal. Ia bersaudara dengan Syekh Maulana Ishak,
ulama terkenal di Samudra Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku).
Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang ulama Persia, bernama Syekh Maulana
Jumadil Kubro, yang menetap di Samarkand. Maulana Jumadil Kubro diyakini
sebagai keturunan ke-10 dari Syayidina Husein, cucu Nabi Muhammad SAW. Syekh Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di
Campa, sekarang Kamboja, selama tiga belas tahun sejak tahun 1379. Ia malah menikahi putri raja, yang memberinya
dua putra. Mereka adalah Raden Rahmat (dikenal dengan Sunan Ampel) dan Sayid
Ali Murtadha alias Raden Santri. Merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri
itu, tahun 1392M Syekh Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan
keluarganya.
Beberapa versi menyatakan bahwa kedatangannya disertai
beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali yakni desa Sembalo, daerah
yang masih berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Desa Sembalo sekarang,
adalah daerah Leran kecamatan Manyar, 9 kilometer utara kota Gresik. Aktivitas
pertama yang dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan cara membuka
warung. Warung itu menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah. Selain itu
secara khusus Malik Ibrahim juga menyediakan diri untuk mengobati masyarakat
secara gratis. Sebagai tabib, ia pernah diundang untuk mengobati istri raja
yang berasal dari Campa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat
istrinya. Kakek Bantal juga mengajarkan
cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat bawah (kasta yang
disisihkan dalam Hindu). Maka sempurnalah misi pertamanya, yaitu mencari tempat
di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan
perang saudara. Selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di
Leran, tahun 1419 M Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di
kampung Gapura, Gresik, Jawa Timur.
B. RADEN AHMAD ALI RAHMATULLAH ( SUNAN
AMPEL )
Ia
putera tertua Syekh Maulana Malik Ibrahim. Menurut Babad Tanah Jawi dan
Silsilah Sunan Kudus, di masa kecilnya ia dikenal dengan nama Raden Rahmat. Ia
lahir di Campa pada 1401 Masehi. Nama Ampel sendiri, di identikkan dengan nama
tempat dimana ia lama bermukim. Di daerah Ampel atau Ampel Denta, wilayah yang
kini menjadi bagian dari Surabaya (kota Wonokromo sekarang). Beberapa versi
menyatakan bahwa Sunan Ampel masuk ke pulau Jawa pada tahun 1443 M bersama
Sayid Ali Murtadho, sang adik. Tahun 1440, sebelum ke Jawa, mereka singgah dulu
di Palembang. Setelah tiga tahun di Palembang, kemudian ia melabuh ke daerah
Gresik. Dilanjutkan pergi ke Majapahit menemui bibinya, seorang putri dari
Campa, bernama Dwarawati, yang dipersunting salah seorang raja Majapahit
beragama Hindu bergelar Prabu Sri Kertawijaya. Sunan Ampel menikah dengan putri seorang
adipati di Tuban. Dari perkawinannya itu ia dikaruniai beberapa putera dan
puteri. Diantaranya yang menjadi penerusnya adalah Sunan Bonang dan Sunan
Drajat.
Ketika Kesultanan Demak (25 kilometer arah selatan
kota Kudus) hendak didirikan, Sunan Ampel turut membidani lahirnya kerajaan
Islam pertama di Jawa itu. Ia pula yang
menunjuk muridnya Raden Fatah, putra dari Prabu Brawijaya V raja Majapahit,
untuk menjadi Sultan Demak tahun 1475 M. Di Ampel Denta yang berawa-rawa,
daerah yang dihadiahkan Raja Majapahit, ia membangun mengembangkan pondok
pesantren. Mula-mula ia merangkul masyarakat sekitarnya. Pada pertengahan Abad
15, pesantren tersebut menjadi sentra pendidikan yang sangat berpengaruh di
wilayah Nusantara bahkan mancanegara. Di antara para santrinya adalah Sunan
Giri dan Raden Patah. Para santri tersebut kemudian disebarnya untuk berdakwah
ke berbagai pelosok Jawa dan Madura. Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi.
Namun, pada para santrinya, ia hanya memberikan pengajaran sederhana yang
menekankan pada penanaman akidah dan ibadah. Dialah yang mengenalkan istilah
"Mo Limo" (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon).
Yakni seruan untuk "tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak
mencuri, tidak menggunakan narkotik, dan tidak berzina." Sunan Ampel
diperkirakan wafat pada tahun 1481 M di Demak dan dimakamkan di sebelah barat
Masjid Ampel, Surabaya.
C. RADEN PAKU/ SYEKH MAULANA AINUL YAQIN ( SUNAN GIRI )
Ia
memiliki nama kecil Raden Paku, alias Muhammad Ainul Yakin. Sunan Giri lahir di
Blambangan (kini Banyuwangi) pada 1442 M. Ada juga yang menyebutnya Jaka
Samudra. Sebuah nama yang dikaitkan dengan masa kecilnya yang pernah dibuang
oleh keluarga ibunya, seorang putri raja Blambangan bernama Dewi Sekardadu ke
laut. Raden Paku kemudian dipungut anak oleh Nyai Semboja (Babad Tanah Jawi
versi Meinsma) Ayahnya adalah Maulana Ishak. saudara sekandung Maulana Malik
Ibrahim. Maulana Ishak berhasil meng-Islamkan isterinya, tapi gagal
mengislamkan sang mertua. Oleh karena itulah ia meninggalkan keluarga isterinya
berkelana hingga ke Samudra Pasai. Sunan Giri kecil menuntut ilmu di pesantren
misannya, Sunan Ampel, tempat dimana Raden Patah juga belajar. Ia sempat berkelana
ke Malaka dan Pasai.
Setelah merasa
cukup ilmu, ia membuka pesantren di daerah perbukitan Desa Sidomukti, Selatan
Gresik. Dalam bahasa Jawa, bukit adalah "giri". Maka ia dijuluki
Sunan Giri. Pesantrennya tak hanya dipergunakan sebagai tempat pendidikan dalam
arti sempit, namun juga sebagai pusat pengembangan masyarakat. Raja Majapahit
konon karena khawatir Sunan Giri mencetuskan pemberontakan memberi keleluasaan
padanya untuk mengatur pemerintahan. Maka pesantren itupun berkembang menjadi
salah satu pusat kekuasaan yang disebut Giri Kedaton.
Sebagai pemimpin pemerintahan, Sunan Giri juga disebut
sebagai Prabu Satmata. Giri Kedaton tumbuh menjadi pusat politik yang penting
di Jawa, waktu itu. Ketika Raden Patah melepaskan diri dari Majapahit, Sunan
Giri malah bertindak sebagai penasihat dan panglima militer Kesultanan Demak.
Hal tersebut tercatat dalam Babad Demak. Selanjutnya, Demak tak lepas dari
pengaruh Sunan Giri. Ia diakui juga sebagai mufti, pemimpin tertinggi
keagamaan, se-Tanah Jawa. Giri Kedaton bertahan hingga 200 tahun. Salah seorang
penerusnya, Pangeran Singosari, dikenal sebagai tokoh paling gigih menentang
kolusi VOC dan Amangkurat II pada Abad 18. Para santri pesantren Giri juga
dikenal sebagai penyebar Islam yang gigih ke berbagai pulau, seperti Bawean,
Kangean, Madura, Haruku, Ternate, hingga Nusa Tenggara. Penyebar Islam ke
Sulawesi Selatan, Datuk Ribandang dan dua sahabatnya, adalah murid Sunan Giri
yang berasal dari Minangkabau. Dalam keagamaan, ia dikenal karena
pengetahuannya yang luas dalam ilmu fikih. Orang-orang pun menyebutnya sebagai
Sultan Abdul Fakih. Ia juga pecipta karya seni yang luar biasa. Permainan anak
seperti Jelungan, Jamuran, lir-ilir dan cublak suweng disebut sebagai kreasi
Sunan Giri. Demikian pula Gending Asmaradana dan Pucung -lagi bernuansa Jawa
namun syarat dengan ajaran Islam.
D. RADEN MAKDUM IBRAHIM ( SUNAN BONANG
)
Sunan
Bonang adalah anak dari Sunan Ampel, yang berarti juga cucu Syekh Maulana Malik
Ibrahim. Nama kecilnya adalah Raden Makdum Ibrahim. Lahir diperkirakan 1465 M
dari seorang perempuan bernama Nyi Ageng Manila, puteri seorang adipati di
Tuban. Sunan Bonang belajar agama dari pesantren ayahnya di Ampel Denta.
Setelah cukup dewasa, ia berkelana untuk berdakwah di berbagai pelosok Pulau
Jawa. Mula-mula ia berdakwah di Kediri, yang mayoritas masyarakatnya beragama
Hindu. Di sana ia mendirikan Masjid Sangkal Daha. Ia kemudian menetap di Bonang
(desa kecil di Lasem, Jawa Tengah) sekitar 15 kilometer timur kota Rembang. Di
desa itu ia membangun tempat pesujudan / zawiyah sekaligus pesantren yang kini
dikenal dengan nama Watu Layar. Ia kemudian dikenal pula sebagai imam resmi
pertama Kesultanan Demak, dan bahkan sempat menjadi panglima tertinggi.
Meskipun demikian, Sunan Bonang tak pernah menghentikan kebiasaannya untuk
berkelana ke daerah-daerah yang sangat sulit. Ia acap berkunjung ke
daerah-daerah terpencil di Tuban, Pati, Madura maupun Pulau Bawean. Di Pulau
inilah, pada 1525 M ia meninggal. Jenazahnya dimakamkan di Tuban, di sebelah
barat Masjid Agung, setelah sempat diperebutkan oleh masyarakat Bawean dan
Tuban. Tak seperti Sunan Giri yang lugas dalam fikih, ajaran Sunan Bonang
memadukan ajaran ahlussunnah bergaya tasawuf dan garis salaf ortodoks. Ia
menguasai ilmu fikih, usuludin, tasawuf, seni, sastra dan arsitektur.
Masyarakat juga mengenal Sunan Bonang sebagai seorang yang piawai mencari
sumber air di tempat-tempat gersang. Ajaran Sunan Bonang berintikan pada
filsafat 'cinta'('isyq). Sangat mirip dengan kecenderungan Jalalludin Rumi.
Menurut Bonang, cinta sama dengan iman, pengetahuan
intuitif (makrifat) dan kepatuhan kepada Allah SWT atau haq al yaqqin. Ajaran
tersebut disampaikannya secara populer melalui media kesenian yang disukai
masyarakat. Dalam hal ini, Sunan Bonang bahu-membahu dengan murid utamanya,
Sunan Kalijaga. Sunan Bonang banyak melahirkan karya sastra berupa suluk, atau
tembang tamsil. Salah satunya adalah "Suluk Wijil" yang tampak
dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa'id Al Khayr (wafat pada 899). Suluknya
banyak menggunakan tamsil cermin, bangau atau burung laut. Sebuah pendekatan
yang juga digunakan oleh Ibnu Arabi, Fariduddin Attar, Rumi serta Hamzah
Fansuri. Sunan Bonang juga menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan
estetika Hindu, dengan memberi nuansa baru. Dialah yang menjadi kreator gamelan
Jawa seperti sekarang, dengan menambahkan instrumen bonang. Gubahannya ketika
itu memiliki nuansa dzikir yang mendorong kecintaan pada kehidupan transedental
(alam malakut). Tembang "Tombo Ati" adalah salah satu karya Sunan
Bonang. Dalam pentas pewayangan, Sunan Bonang adalah dalang yang piawai membius
penontonnya. Kegemarannya adalah menggubah lakon dan memasukkan tafsir-tafsir
khas Islam. Kisah perseteruan Pandawa-Kurawa ditafsirkan Sunan Bonang sebagai
peperangan antara nafi (peniadaan) dan 'isbah (peneguhan).
E. RADEN QOSIM ( SUNAN
DRAJAT )
Nama
kecilnya Raden Qosim. Ia anak Sunan
Ampel. Dengan demikian ia bersaudara dengan Sunan Bonang. Diperkirakan Sunan Drajat yang bergelar Raden
Syaifuddin ini lahir pada tahun 1470 M. Sunan Drajat mendapat tugas pertama
kali dari ayahnya untuk berdakwah ke pesisir Gresik, melalui laut. Ia kemudian
terdampar di Dusun Jelog (pesisir Banjarwati atau Lamongan sekarang). Tapi
setahun berikutnya Sunan Drajat berpindah 1 kilometer ke selatan dan mendirikan
padepokan santri Dalem Duwur, yang kini bernama Desa Drajat, Paciran-Lamongan.
Dalam pengajaran tauhid dan akidah, Sunan Drajat mengambil cara ayahnya:
langsung dan tidak banyak mendekati budaya lokal. Meskipun demikian, cara
penyampaiannya mengadaptasi cara berkesenian yang dilakukan Sunan Muria.
Terutama seni suluk. Maka ia menggubah sejumlah suluk, di antaranya adalah
suluk petuah "berilah tongkat pada si buta/beri makan pada yang lapar/beri
pakaian pada yang telanjang'. Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang
bersahaja yang suka menolong. Di pondok pesantrennya, ia banyak memelihara
anak-anak yatim-piatu dan fakir miskin.
F. SYEKH SYARIF HIDAYATULLAH ( SUNAN GUNUNG JATI )
Banyak
kisah tak masuk akal yang dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati. Diantaranya
adalah bahwa ia pernah mengalami perjalanan spiritual seperti Isra' Mi'raj,
lalu bertemu Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir, dan menerima wasiat Nabi Sulaiman.
Semua itu hanya mengisyaratkan kekaguman masyarakat masa itu pada Sunan Gunung
Jati. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar
tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri dari raja Pajajaran Raden Manah Rarasa.
Sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir
keturunan Bani Hasyim dari Palestina. Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama
sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara.
Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama
lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan
Pakungwati.
Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya
"wali songo" yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan
pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan.
Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun ia
juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang
menghubungkan antar wilayah bersama putranya, Syekh Maulana Hasanuddin, Sunan
Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum,
menyerahkan sukarela penguasaan wilayah Banten tersebut yang kemudian menjadi
cikal bakal Kesultanan Banten. Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur
dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran
Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di
Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati,
sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.
G. RADEN UMAR SA’ID ( SUNAN
MURIA )
Ia
putra Dewi Saroh, adik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syekh Maulana Ishak,
dengan Sunan Kalijaga. Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Nama Muria diambil
dari tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18 kilometer ke utara
kota Kudus. Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga.
Namun berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat
terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam.
Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan
keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah
kesukaannya. Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam
konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530). Ia dikenal sebagai pribadi
yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu.
Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh
semua pihak yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana
hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat seni adalah
lagu Sinom dan Kinanti.
H. RADEN JA’FAR SHODIQ ( SUNAN KUDUS )
Nama kecilnya Jafar Shodiq. Ia putra
pasangan Sunan Ngudung dan Syarifah (adik Sunan Bonang), anak Nyi Ageng Maloka.
Disebutkan bahwa Sunan Ngudung adalah
salah seorang putra Sultan di Mesir yang berkelana hingga di Jawa.
Di Kesultanan Demak, ia pun diangkat
menjadi Panglima Perang. Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga.
Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen,
Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan
Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih
halus. Itu sebabnya para wali yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang
mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh menunjuknya. Cara Sunan Kudus mendekati
masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu
terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan
pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha.
Sebuah wujud kompromi yang dilakukan
Sunan Kudus. Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid
mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi
nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi,
menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus
tentang surat Al Baqarah yang berarti "sapi betina". Sampai sekarang,
sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.
Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya
secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya.
Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa
kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.
Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana
ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut
bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan
Adipati Jipang, Arya Penangsang.
I. RADEN SYAHID ( SUNAN
KALIJAGA )
Dialah
wali yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Ia lahir sekitar tahun
1450 Masehi. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban -keturunan dari tokoh
pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah
menganut Islam. Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga memiliki
sejumlah nama panggilan seperti Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau
Raden Abdurrahman.Terdapat beragam versi menyangkut asal-usul nama Kalijaga
yang disandangnya. Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari
dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan
bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Kalangan Jawa mengaitkannya dengan
kesukaan wali ini untuk berendam ('kungkum') di sungai (kali) atau "jaga
kali". Namun ada yang menyebut
istilah itu berasal dari bahasa Arab "qadli dzaqa" yang menunjuk
statusnya sebagai "penghulu suci" kesultanan. Masa hidup Sunan
Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia
mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak,
Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546
serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia
ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak.
Tiang "tatal" (pecahan
kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan
Kalijaga. Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat
dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung "sufistik berbasis salaf"
-bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan
kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah. Ia sangat toleran pada budaya lokal.
Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka
mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi.
Sunan Kalijaga berkeyakinan jika
Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang. Maka ajaran
Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni
ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah
pencipta Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada,
lakon wayang Petruk Jadi Raja.
Lanskap pusat kota berupa Kraton,
alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan
Kalijaga. Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa
memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di
antaranya adalah Adipati Pandanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang
(sekarang Kota gede - Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu selatan
Demak.
KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.
BalasHapusKAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.
KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.