Al-Allamah Al-Muhaqqiq Aal-Faqih Al-Abid Az-Zahid Al-Murabbi Ad-Da'i ilallah, As-Sayyid Al-Habib Abu Muhammad Zain bin
Ibrahim bin Zain bin Muhammad bin Zain bin Abdurrahman bin Ahmad bin
Abdurrahman bin Ali bin Salim bin Abdullah bin Muhammad Sumaith bin Ali bin
Abdurrahman bin Ahmad bin Alwy bin Ahmad bin Abdurrahman bin Alwy ('Ammul
al-Faqih al-Muqqadam) bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali Qatsam bin Alwy
bin Muhammad bin Alwy Ba'Alawy bin 'Ubaidullah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa
Ar-Rummi bin Muhammad An-Naqib bin Ali Al-'Uraidhi bin Ja'far Shadiq bin Muhammad
al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein As-Sibthi bin Ali bin Abi Thalib dan
Sayidah Fathimah binti Rasulullah SAW.
Habib Zain lahir di ibukota Jakarta pada
tahun 1357 H/1936 M. Ayahnya Habib Ibrahim adalah ulama besar di bumi Betawi
kala itu, selain keluarga, lingkungan tempat di mana mereka tinggal pun boleh
dikatakan sangat religius.
Sejak kecil Habib Zain sudah mengenal
agama dengan baik, baik ilmu pengetahuan maupun amaliah sehari-hari. Mengetahui
Habib Zain memiliki kelebihan dibanding saudara- saudara lainnya, ayahnya
memberikan pendidikan ekstra. Tak hanya ilmu, akhlak pun ditekankan pada diri
Habib Zain.
Mengunjungi para
ulama contohnya. Seperti diketahui, mengunjungi (dalam bahasa Jawa: sowan)
sudah menjadi tradisi bagi sebagian umat Islam, seperti Jawa dan Arab asal
Hadramaut Yaman. Tak sekadar silaturahmi, tapi yang diharapkan adalah berkah
doa dari mereka, para ulama.
Sowan inilah yang
dijadikan salah satu mediasi oleh Habib Ibrahim dalam mendidik Habib Zain. Dari
rasa cinta dan hormat (mahabbah dan ta’ dzim), lalu muncul pada diri Habib Zain
rasa ingin menjadi seperti mereka, paling tidak meneladani perilaku
mereka.
Sejak itu, Habib Zain
mengais ilmu dari ulama-ulama Betawi. Di waktu beliau masih kecil, ayahnya suka
membawanya ke Majelis Habib Alwi bin Muhammad al-Haddad, salah satu pemuka
kalangan saddah 'Alawiyyin yang bermukim di Bogor (Beliau dimakamkan di kubah
gurunya Al-Habib Abdullah bin Mukhsin al-Aththas, Mesjid An-Nur, Empang
Bogor).
Beliau menghadiri
maulud yang biasa diadakan di rumah Habib Alwy setiap ashar di hari Jum'at.
Habib Alwi terhitung guru pertama dalam kehidupan beliau. Selain Habib Alwi,
masa kecil Habib Zain banyak dihabiskan untuk menimba ilmu kepada Habib Ali bin
Abdurrahman al- Habsyi (Kwitang, dekat Pasar Senen Jakarta Pusat).
Di sini, Habib Zain
paling tidak hadir seminggu sekali, mengikuti majlis rutin yang digelar tiap
Ahad pagi. Selanjutnya, pada usia empat belas tahun (1950), ayahnya
memberangkatkan Habib Zain ke Hadramaut, tepatnya kota Tarim.
Guru-gurunya al-habib
Zain bin Ibrahim bin Smith diantaranya adalah :
*al-Habib Alwy bin
Muhammad bin Thohir al-Hadad
*Habib Muhammad bin
Salim bin Hafizh,
*Habib Umar bin Alwi al-Kaf,
*Al-Allamah Al-Sheikh
Mahfuz bin Salim,
*Sheikh Salim Said
Bukayyir Bagistan,
*Habib Salim bin Alwi
Al-Khird,
*Habib Ja’far bin
Ahmad Al-Aydrus,
*Habib Muhammad bin
Abdullah Al-Haddar (mertuanya).
*Habib Ibrahim bin
Umar bin Aqil
*Habib Abu Bakar bin
Abdullah al-Aththas
*Syekh Fadhl bin
Muhammad Bafadhl
*Habib Muhammad bin
Hadi Assaqof,
*Habib Ahmad bin Musa
Al-Habsyi, Habib Alwi bin Abbas Al-Maliki,
*Habib Umar bin Ahmad
bin Smith,
*Habib Ahmad Masyhur
bin Thaha Al-Haddad,
*Habib Abdul Qadir
bin Ahmad Assaqof dan
*Habib Muhammad bin
Ahmad Assyatiri
Pada usia empat belas
tahun (1950), ayahnya memberangkatkan Habib Zain ke Hadramaut, tepatnya kota
Tarim. Di bumi awliya’ itu Habib Zain tinggal di rumah ayahnya yang telah lama
ditinggalkan.
Menyadari mahalnya
waktu untuk disia-siakan, Habib Zain berguru kepada sejumlah ulama setempat,
berpindah dari madrasah satu ke madrasah lainnya, hingga pada akhirnya
mengkhususkan belajar di ribath Tarim. Di pesantren ini nampaknya Habib Zain
merasa cocok dengan keinginannya.
Di sana ia
memperdalam ilmu agama, antara lain mengaji kitab ringkasan (mukhtashar) dalam
bidang fikih kepada al-'Allamah al-Habib Muhammad bin Salim bin Hafidz, ayahnya
al-Habib Umar bin Hafizh Darul Musthafa-Tarim, di bawah asuhan al-Habib
Muhammad pula, Habib Zain berhasil menghapalkan kitab fikih buah karya Imam Ibn
Ruslan, “Zubad”, dan “Al-Irsyad” karya Asy-Syarraf Ibn Al-Muqri yang beliau
hafal sampai bab Jinayat.
Tak cukup di situ,
Habib Zain belajar kitab “Al-Minhaj” yang disusun oleh Habib Muhammad sendiri,
menghapal bait-bait (nazham) “Hadiyyah As-Shadiq” karya Habib Abdullah bin
Husain bin Thahir dan lainnya.
Dalam penyampaiannya
di Tarim beliau sempat berguru kepada sejumlah ulama besar seperti Habib Umar
bin Alwi Al-Kaf, kepadanya beliau membaca kitab "Mutammimah
al-Ajurumiyah", menghapal kitab "Alfiyyah" karya Ibnu Malik, dan
mulai mempelajari syarah kitab itu padanya.
Beliau menimba ilmu
Fiqih dari al-Allamah asy-Syaikh Mahfuzh bin Salim az-Zubaidi dan dari seorang
syaikh yang Faqih Syekh Salim Sa’id Bukhayyir Baghitsan.
Beliau juga membaca
kitab "Mulhah al-I'rab" karya al-Hariri dengan Habib Salim bin Alwi
Al-Khird. Dalam ilmu ushul, beliau mengambil dari Syekh Fadhl bin Muhammad
Bafadhl dan al-Habib Abdurrahman bin Hamid As-Sirri, kepada mereka berdua,
beliau juga membaca kitab matan "al-Waraqat".
Beliau juga
menghadiri majelis-majelis al-Habib Alwi bin Abdullah Shihabuddin dan
rauhah-nya, juga pelajaran-pelajaran di Ribath, dan majelis Syaikh Ali bin Abu
Bakar as-Sakran.
Beliau juga menimba
ilmu dari Habib Ja’far bin Ahmad Al-Aydrus, dan sering pulang pergi ke
tempatnya. Beliau mendapatkan banyak ijazah darinya. Beliau juga menimba ilmu
dari Habib Ibrahim bin Umar bin Agil dan Habib Abubakar Attos bin Abdullah
Al-Habsyi. Kepadanya beliau membaca kitab al-Arba'in karya Imam al-Ghazali.
Guru-gurunya memuji karena kelebihannya dibanding lainnya, juga karena adab,
perilaku, dan akhlaknya yang baik.
Selain menimba ilmu
di sana Habib Zain banyak mendatangi majlis para ulama demi mendapat ijazah,
semisal Habib Muhammad bin Hadi As-Saqqaf, Habib Ahmad bin Musa Al-Habsyi,
al-Habib Alwi bin Abbas Al-Maliki, Habib Umar bin Ahmad bin Sumaith, Habib
Ahmad Masyhur bin Thaha Al-Haddad, Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assaqof,
al-Habib al-Murabbi Hasan bin Abdullah asy-Syatiri dan Habib Muhammad bin Ahmad
asy-Syatiri. Melihat begitu banyaknya ulama yang didatangi, dapat disimpulkan,
betapa besar semangat Habib Zain dalam rangka merengkuh ilmu pengetahuan agama,
apalagi melihat lama waktu beliau tinggal di sana, yaitu kurang lebih delapan
tahun.
Al-Habib Muhammad
al-Haddar, al-Habib Hasan bin Abdullah asy-Syatiri dan al-Habib Zain bin
Ibrahim bin Sumaith (ki-ka)
Kemudian salah
seorang gurunya bernama Habib Muhammad bin Salim bin Hafidz menyarankannya
pindah ke kota Baidhah, salah satu wilayah pelosok bagian negeri Yaman sebelah
selatan, untuk mengajar di rubath sekaligus berdakwah. Ini dilakukan menyusul
permohonan mufti Baidhah, Habib Muhammad bin Abdullah Al-Haddar.
Dalam perjalanan ke
sana, Habib Zain singgah dulu di kediaman seorang teman dekatnya di wilayah
Aden, Habib Salim bin Abdullah Assyatiri, yang saat itu menjadi khatib dan imam
di daerah Khaur Maksar, disana Habib Zain tinggal beberapa saat. Selanjutnya
Habib Zain melanjutkan perjalanannya di Baidhah, Habib Zain pun mendapat
sambutan hangat dari sang tuan rumah Habib Muhammad Al-Haddar, di sanalah untuk
pertama kali ia mengamalkan ilmunya lewat mengajar.
Habib Zain menetap
lebih dari 20 tahun di Rubath Baidha’ menjadi khadam ilmu kepada para
penuntutnya, beliau juga menjadi mufti dalam Mazhab Syafi’i. Beliau merupakan
tangan kanan Habib Muhammad al-Haddar.
Selama di rubath
Baidha, beliau benar-benar berjuang, beribadah dan menempa diri dengan
kesungguhan dan keseriusan dalam Muthala'ah (mengkaji) kitab-kitab tafsir,
hadist, fiqih, dan lain-lain, juga membaca kitab-kitab salaf. Beliau memiliki
semangat yang tak kenal lelah dan jemu dalam mengajar, mendidik murid-murid,
dan membimbing mereka yang kurang pandai.
Beliau memilki
kedudukan tersendiri di sisi gurunya al-Habib Muhammad al-Haddar. Sehingga bila
suatu persoalan ilmiah diajukan kepada Habib Muhammad dan sudah dijawab oleh
Habib Zain maka Habib Muhammad mengatakan, "Jika Habib Zain telah menjawab
maka tidak perlu lagi ada komentar". Begitulah penilaian gurunya karena
sangat percaya dengan keilmuan al-Habib Zain bin Sumaith.
Setelah itu beliau
berpindah ke negeri Hijaz diminta untuk membuka rubath Sayyid Abdurrahman bin
Hasan al-Jufri di Madinah. Beliau berangkat pada bulan Ramadhan tahun 1406 H. ,
Habib Zain telah bersama-sama dengan Habib Salim asy-Syatiri menguruskan Rubath
di Madinah selama 12 tahun, Setelah itu Habib Salim pindah ke Tarim Hadhramaut
untuk menguruskan Rubath Tarim.
Habib Zain di Madinah
diterima dengan ramah, muridnya banyak dan terus bertambah, dalam kesibukan
mengajar dan usianya yang juga semakin meningkat, keinginan untuk terus
menuntut ilmu tidak pernah pudar. Beliau mendalami ilmu Usul daripada Sheikh
Zaidan Asy-Syanqiti Al-Maliki, seorang yang sangat alim dan ahli ushul fiqih.
Kepadanya beliau membaca kitab at-Tiryaq an-Nafi' 'ala Masail Jami'ul Jawami
karya Imam Abu BAkar bin Syahab, Maraqi as-Su'ud karya Syarif Abdullah al-Alawi
asy-Syanqithi yang merupakan kitab matan lanjutan dalam ilmu ushul fiqih.
Habib Zain terus
menyibukkan diri menuntut dengan Al-Allamah Ahmaddu bin Muhammad Hamid
Al-Hasani asy-Syanqithi dalam ilmu bahasa dan Ushuluddin. Kepadanya beliau membaca
Syarh al-Qath, sebagian Syarh Alfiyyah karya Ibnu 'Aqil, Idha'ah ad-Dujunnah
karya Imam al-Maqqari dalam akidah, as-Sullam al-Munauraq karya al-Imam
al-Akhdari, Isaghuji karya al-Imam al-Abhari, Itmam ad-Dirayah li Qurra
an-nuqayah karya Imam Suyuthi, al-Maqshur wa al-Mamdud dan Lamiyah al-Af'al,
keduanya karya Ibnu Malik, jilid pertama kitab Mughni al-Labib karya Ibnu
Hisyam, dua kitab ilmu shorof, Jauhar al-Maknun dalam ilmu balaghoh.
Syaikh Ahmaddu
memuuji Habib Zain karena semangat besar dan kesungguhannya dalam menuntu ilmu.
Dan kebanyakan membaca kepadanya di Masjid Nabawi yang mulia.
Selama masa ini Habib
Zain sering melakukan perjalanan-perjalanan yang diberkahi ke sejumlah negeri
Islam untuk berdakwah serta menjumpai para ulama dan para wali. Beliau
mengunjungi Syam, Indonesia, Malaysia, Afrika dan lain-lain.
Allah SWT memberi
anugerah kepadanya, yaitu mudah diterima orang dan kewibawaan dalam
penampilannya.
Habib Zain seorang
yang tinggi kurus. Lidahnya basah, tidak henti berzikrullah. Tasbih hampir
tidak pernah berpisah dengan tangannya. Selalu mengenakan sorban putih, dan
mengenakan sarung dan pakaian sebagaimana kebiasaan para salaf di Hadramaut.
al-Habib Zain memilki
pengaturan khusus dalam wirid, zikir pengaturan khusus dalam wirid, zikir dan
ibadahnya. Beliau sentiasa menghidupkan malamnya. Di waktu pagi Habib Zain
keluar bersolat Subuh di Masjid Nabawi. Beliau beriktikaf di Masjid Nabawi
sehingga matahari terbit, setelah itu beliau menuju ke Rubath untuk mengajar.
Majlis Rauhah digelar setelah asar hingga waktu maghrib tiba. Lalu beliau
melanjutkan mengajar hingga menjelang Isya. Setelah itu, pergi ke Masjid Nabawi
untuk melakukan shalat Isya dan berziarah ke makam datuknya yang mulia dan
agung, Rasulullah SAW.
Di antara hasil karya
tulis beliau :
*al-Manhaj as-Sawiy,
Syarh Ushul Thariqah as-Sadah al-Ba'Alawi. Kitab terpenting di antara beliau,
menjelaskan mengenai thariqah Alawiyyah.
*Al-Fuyudhat
ar-Rabbaniyyah Min Anfas as-Sadah al-'Alawiyyah. Kitab Tafsir maknawi yang
tipis dan menghimpun ucapan Sadah al-Alawiyyin dalam kumpulan ayat al-Qur'an
dan Hadist Nabi.
*Hidayah ath-Thalibin
Fi Bayan Muhimmat ad-Din. kitab Syarh hadist perbincangan antara Jibril.as dan
Rasulullah SAW.
*Al-Ajwibah
al-Ghaliyah Fi 'Aqidah al-Firqah an-Najiyah. Menjelaskan menganai keyakinan
orang-orang yang menyimpang dalam bentuk tanya jawab.
*al-Futuhat 'Aliyyah
Fi al-Khutbah al-Mimbariyyah. Merangkum ceramah-ceramah beliau
*HAadayah az-Zairin
ila Ad'iyah az-Ziyarah an-Nabawiyyah wa Masyahid as-Shalihin. Kumpulan doa para
salaf yang diucapkan ketika ziarah Nabi dan kuburan-kuburan di Haramain dan
Hadhramaut.
*Majmu'. Kitab
manfaat yang bertebaran dalam hukum, doa,dan adab.
*Fatawa al-Fiqhiyah.
Mengenai fatwa-fatwa fiqih
*Tsabat Asanidah wa
Syuyukhah. Bentuk naskah berisi sanad dan para gurunya.
Al-Allamah
Al-Habib Zain bin Ibrahim bin Sumaith Madinah Al-Munawwaroh dalam kitab
Annujumuz Zahirah menjelaskan bagaimana agar ketika sakaratul maut nanti Rasulullaah
SAW berkenan hadir, seperti dalam kitabnya disebutkan :
أفادالحبيب الامام عبدالله بن عيدروس العيدروس
نفع الله به; أن ثلاثة من الاذكار اذا قالها الانسان كل يوم (116 مرة) لم يتول قبض روحه الا الحببب صلى الله عليه واله وسلم وهي
هذه; الاول: الصلاة والسلام عليك ياسيدي يارسول الله قلت حيلتي أدركني(× 116) الثاني: السلام عليك ايها النبي ورحمة الله وبركاته (×116) الثالث: انا في جاه رسول الله صلى الله عليه واله وسلم (×116)
Subhanallah,
Nabi Muhammad SAW akan hadir saat Malaikat mencabut nyawa kita. Para Ulama-ulama yang shalih adalah
orang-orang yang terbimbing prilaku dan ucapannnya dengann Hidayah dari Allah
SWT sehingga mereka sangat takut kepada Allah untuk berbohong, bahkan kepada
binatang pun mereka tidak mau berbohong apalagi berdusta atas nama Nabi
Muhammad SAW.
Dalam Islam sangat banyak para Ulama-ulama
shalihin yang bermimpi Rasulullah SAW bahkan mendapatkan petunjuk atau isyarat
untuk melakukan atau berucap hal-hal tertentu, (seperti dzikir, shalawat, doa
dll).
Ada riwayat hadits yang membenarkan (haq)
bagi siapa yang bermimpi Nabi SAW bahwa mimpi itu adalah sebuah
kebenaran/kenyataan dan benar-benar batinnya melihat beliau karena syaitan tidak
di izinkan oleh Allah untuk datang dalam mimpi seseorang dengan mengaku sebagai
Nabi Muhammad SAW ditambah dengan riwayat lain yang Nabi SAW menyebutkan bahwa
sebagian Mimpi orang mukmin itu adalah bagian (kecil) dari bagian-bagian wahyu
dari Allah.
Allah SWT juga sering mengilhami seseorang
akan hal-hal tertentu sebagaimana termaktub dalam Al-Quran yang suci.
Seperti halnya dibawah ini ada riwayat dari
Al-Habib Al-Imam Abdullah bin Idrus Al-Idrus berkata:
“Ada tiga jenis dzikir yang jika seorang
Mukmin membacanya setiap hari (dengan istiqomah) masing-masing sebanyak 116
kali maka Nabi Muhammad SAW akan berkepentingan untuk hadir saat pencabutan
nyawanya (Sakaratul Maut)".
Pertama:
اَلصَّلَاةُ
وَالسَّلَامُ عَلَيْكَ يَاسَيِّدِيْ يَارَسُوْلُ اللهُ قَلَتْ حِيْلَتِيْ
أَدْرِكْنِيْ (×116)
(Ash-sholatu was salamu alaika Yaa Sayyidi Yaa
Rasulallah Qollat hiilati adrikni)
Kedua:
اَلسَّلَامُ
عَلَيْكَ اَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهْ(×116)
(Assalamu alaika ayyuhan Nabiyyu wa
rahmatullahi wabarakatuh).
Ketiga:
اَنَا
فِيْ جَاهِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْه وَاَلِهِ وَسَلَمْ(×116)
(Ana fii jaahi Rosulillah shollallaahu alaihi
wa alihi wa sallam)
Hal ini disebutkan oleh Al-Allamah Al-Habib
Zain bin Ibrahim bin Sumaith Madinah Al-Munawwaroh dalam kitab Annujumuz
Zahirah.
Semoga saat ajal memjemput kita Allah SWT berkenan
menghadirkan Rasulullah SAW untuk mendampingi detik-detik terakhir hidup kita
di dunia agar kita mendapat Khusnul Khotimah, Amin Yaa Arhamar Rahimin
Semoga Bermanfaat, Aamiin.
Qobiltu
BalasHapus