Makam Al-Habib Abdullah bin Ali-Al haddad |
Beliau
adalah keturunan Al-Qutb Al-Ghouts Al-Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad,
seorang putra yang sungguh-sungguh ahli ibadah, tampak di wajahnya
cahaya yang bersinar; (yaitu) cahaya ulama salaf, (la seorang) dai yang akan menggantikan kedudukan salafnya.
Dalam
kunjungannya ke Nusantara di sekitar penghujung tahun 2010, yaitu dalam
sebuah kesempatan majelis rauhah di Jakarta, Habib Salim bin Abdullah
Asy-Syathiri menyinggung sebuah qashidah panjang yang ditulis oleh
Shahiburratib, Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad. Bait-bait qashidah nan
indah itu keseluruhannya berakhiran huruf "ta" dan merupakan qashidah
yang teramat mulia. Karenanya, qashidah itu kemudian disebut qashidah
ta-iyyah al-kubra.
Habib Salim
menuturkan, qashidah tersebut menyimpan kandungan makna yang sangat
dalam dan agung. Sehingga dikatakan, tidaklah sanggup mensyarahi
kandungan isi qashidah tersebut kecuali orang-orang yang sudah sampai
pada maqam Syaikh Muhyiddin Ibnul 'Arabi, salah seorang sufi besar dalam
dunia Islam, yang dikenal banyak memiliki karya-karya tasawuf dalam
pembahasan yang sarat makna, filosofis, tajam, dan mendalam.
Apa yang
disinggung Habib Salim tersebut mengingatkan kita pada sosok seorang
ulama yang memiliki keterkaitan kisah dengan gashidah itu, yang sang
penyusunnya sendiri pernah mengatakan terkait qashidah tersebut, "Kelak
qasidah ini akan disempurnakan oleh salah satu keturunanku, dengan satu
bait."
Memang,
qashidah yang pada awal-nya berbunyi "Bu'itstu lijiranil 'aqiqi
tahiyyah, wa awda'tuha rihash shaba hina habbat…" itu nyatanya berjumlah
249 bait, jumlah angka yang terkesan tak sempurna. Berbeda, misalnya,
bila berjumlah 250 bait. Namun, tentu ada saja hikmah di balik
tindak-tanduk seorang kekasih Allah, yang kita hanya bisa mereka-reka.
Di antaranya, mungkin saja itu adalah salah satu isyarat yang ingin
disampaikan oleh shahiburratib tentang keutamaan salah seorang
keturunannya.
Di masa
Habib Abdullah bin Ali Al- Haddad, dialah yang kemudian menggenapkan
qashidah itu dengan satu bait penutup, "Wa aliri wa ashhabin wa man kana
tabi'an li minhajhim fi kulli haththin wa rihlah". Hal ini menunjukkan
bahwa keutamaan Habib Abdullah bin Ali Al- Haddad, jauh hari sebelumnya,
telah diketahui oleh sang datuk, Al-Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad.
Kehidupan
Habib Abdullah bin Ali Al- Haddad adalah kehidupan yang penuh dengan
keteladanan, di samping berbagai kisah kekeramatan, la, yang kelahiran
Tarim, Hadhramaut, menghabiskan masa akhir hayatnya di kota Bangil,
Pasuruan, Jawa Timur, yang kemudian jasad mulianya dikebumikan di sebuah
desa di kota itu yang bernama Sangeng. Itulah sebabnya di kemudian hari
orang menyebutnya "Keramat Sangeng".
Agar tidak
rancu, sedikit kami jelaskan di sini. Antara dirinya dan datuknya,
Shahiburratib, memiliki nama yang sama, yaitu sama-sama Abdullah.
Ke-duanya juga sama-sama dari keluarga Al-Haddad, yang satu "bin Alwi"
(yang Shahiburratib) dan satunya lagi "bin Ali" (yang manaqibnya tengah
kita ulas kali ini). Habib Abdullah bin Ali Al-Haddad adalah keturunan
keenam Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad. Berikut ini urutan nasab yang
menghubungkan keduanya, Abdullah bin Ali bin Hasan bin Husein bin Ahmad
bin Hasan bin Shahiburratib Abdullah bin Alwi Al-Haddad.
Kesungguhan dalam Ilmu dan Ibadah
Kesungguhan dalam Ilmu dan Ibadah
Habib
Abdullah bin Ali Al-Haddad lahir pada tanggal 4 Shafar 1261 H (sekitar
Februari 1840 M) di kota Tarim, Hadhramaut. la diasuh dan dididik dalam
keluarga yang di dalamnya tercium semerbak aroma kewalian dan keilmuan.
Sejak kecil, ayahnya sendiri, yaitu Habib Ali bin Hasan Al-Haddad,
memberikan pendidikan kepadanya, terutama dalam menghafal Al-Qur'an.
la belajar
beberapa cabang ilmu agama dari para ulama besar di masa itu, seperti
Habib Abdurrahman bin Muhammad Al-Masyhur (penyusun Bughyah
al-Musytarsyidin) dan Habib Umar bin Hasan Al-Haddad di Ghurfah, Habib
Idrus bin Umar Al-Habsyi di Seiwun, Habib Muhsin bin Alwi Assegaf dan
Habib Muhammad bin Ibrahim Bilfaqih di Tarim Dari guru-gurunya itu ia
mempelajari ilmu tafsir, hadits, fiqih, hadits, dan cabang-cabang ilmu
lainnya, la juga banyak memperoleh ijazah dan pengakuan dari tokoh-tokoh
ulama serta ahli sufi di zamannya sebagai bukti penguasaannya dalam
ilmu syari'at dan hakikat.
Tahun 1281
H/1860 M ia meninggal-kan kampung halamannya menuju kota Du'an untuk
semakin memperdalam pengetahuannya. Untuk tujuan itu ia mendatangi
sejumlah ulama. Di samping itu ia juga menziarahi makam-makam ulama dan
shalihin, seperti Syaikh Sa'id bin Isa Al-Amudi.
Dari Du'an,
Habib Abdullah melanjutkan perjalanannya ke kota Qaidun dan belajar
kepada Habib Thahir bin Umar Al-Haddad dan Syaikh Muhammad bin Abdullah
Basawdan. Di hadapan mereka ia membaca kitab Minhaj ath-Thalibin, karya
Imam Nawawi, dan mendapatkan ijazah beberapa cabang ilmu, seperti ilmu
manthiq, aqidah, dan ushul.
Pada tahun
1291 H/1872 M, ia menikah dengan Syarifah Aisyah binti Hamid bin Alwi
Al-Hamid, di Tarim. Dari perkawinannya itu ia dikaruniai lima anak:
Alwiyah, Nur, Fatimah, Muznah, dan Hasan.
Meski telah banyak belajar ke sana-sini, bahkan juga telah menikah, semangat belajarnya tetap besar. Tahun 1294
H/1873 M ia
pergi ke kota Guwairah dan bertemu Habib Ahmad bin Muhammad Al-Muhdhar
(ayahanda Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhar, Bondowoso). la
mempelajari sejumlah cabang ilmu pada derajat yang tinggi dan men-dapat
ijazah dari gurunya itu.
Pada salah
satu muqaddimah ijazah tertulisnya, sang guru menuliskan, "Aku
memberikan ijazah kepada keturunan Al-Qutb Al-Ghauts Al-Habib Abdullah
bin Alwi Al-Haddad, seorang putra yang sungguh-sungguh ahli ibadah,
tampak di wajahnya cahaya yang bersinar, (yaitu) cahaya ulama salaf, (la
seorang) dai yang akan menggantikan kedudukan salafnya. Aku
menganggapnya sebagai anakku."
Kesungguhan Habib Abdullah bukan hanya dalam urusan menuntut ilmu, tapi juga dalam hal olah jiwa. Disebutkan, di masa mudanya ia tidak pernah meninggalkan rutinitas ibadahnya, yang wajib maupun yang sunnah. Dalam keadaan bagaimanapun ia tetap menjalankannya, seperti shalat, puasa, dan ibadah-ibadah lainnya.
Kesungguhan Habib Abdullah bukan hanya dalam urusan menuntut ilmu, tapi juga dalam hal olah jiwa. Disebutkan, di masa mudanya ia tidak pernah meninggalkan rutinitas ibadahnya, yang wajib maupun yang sunnah. Dalam keadaan bagaimanapun ia tetap menjalankannya, seperti shalat, puasa, dan ibadah-ibadah lainnya.
Suatu saat,
kesehatannya terganggu, kondisi fisiknya pun menurun. Namun berbagai
kebiasaannya dalam beribadah sehari-hari tak berubah.
Melihat
keadaan seperti itu, didorong rasa kasihan melihat kondisi putranya,
sang ibu pun berkata kepadanya, "Hai anakku, bila engkau ingin kebaikan
dan keridhaanku, taatilah perintahku." Demikian Ujar sang bunda setelah
memerintahkan Habib Abdullah untuk menurunkan intensitas ibadahnya
sejenak dan banyak-banyak beristirahat, mengingat kondisi kesehatannya
yang sedang sakit.
Setelah
diperintahkan demikian oleh sang bunda, demi mengejar ridha ibunya, ia
pun akhirnya hanya menunaikan shalat fardhu dan rawatib.
Pada tahun
1295 H/1874 M ia berangkat ke Tanah Suci untuk mengerjakan rukun Islam
yang kelima, yaitu ibadah haji, ke Baitullah, sekaligus berziarah ke
makam Rasulullah SAW.
Selama di
Makkah ia tinggal di rumah Mufti kota Makkah, Habib Muhammad bin Husein
Al-Habsyi (ayahanda Shahib Simthud Durar, Habib Ali bin Muhammad
Al-Habsyi), sekaligus menyempatkan diri untuk mendalami ilmu-ilmu agama
kepada Habib Muhammad, la juga mendapatkan ijazah dari Sayyid Ahmad
Zaini Dahlan.
Usai tinggal beberapa lamanya di kota Makkah, ia menuju kota Madinah dan tinggal di sana selama empat bulan.
Di Madinah
ia menemui Syaikh Muhammad Abdul Mu'thi bin Muhammad AI-'Azab, seorang
faqih dan dikenal pula sebagai seorang pakar bahasa Arab, pengarang
kitab Maulid AI-'Azab.
Habib
Abdullah meminta ijazah kepadanya, tetapi Syaikh AI-'Azab tak mau
memberikan sebelum ia diberi ijazah terlebih dulu oleh Habib Abdullah.
Maka Habib Abdullah kemudian memberikannya ijazah berupa wirid-wirid
susunan Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad, lalu Syaikh Muhammad AI-'Azab
pun memberikan ijazah kepadanya.
Begitulah,
hari demi hari kemuliaan Habib Abdullah semakin terlihat. Itu semakin
tampak ketika ia ditemui Sayyid Umar Syatha, mufti Haramain.
Diceritakan, Sayyid Umar mimpi berjumpa Rasulullah SAW dan diperintahkan
agar berziarah kepada Habib Abdullah bin Ali Al-Haddad. "Dia adalah
cucuku yang sebenarnya," kata Nabi kepada Sayyid Umar Syatha.
Rihlah Dakwah
Pada tahun 1297 H/1879 M Habib Abdullah berdakwah ke tanah Melayu. Mula-mula ke Singapura, kemudian menuju Johor. Di Johor ia memperoleh sahabat, yaitu Syed Salim bin Thaha Al- Habsyi dan Sultan Abu Bakar bin Ibrahim (sultan Johor saat itu).
Pada tahun 1297 H/1879 M Habib Abdullah berdakwah ke tanah Melayu. Mula-mula ke Singapura, kemudian menuju Johor. Di Johor ia memperoleh sahabat, yaitu Syed Salim bin Thaha Al- Habsyi dan Sultan Abu Bakar bin Ibrahim (sultan Johor saat itu).
Pada waktu
peresmian istana Sultan Johor ini, datanglah Sultan Ahmad dari negeri
Pahang yang mencari-cari diriya. Setelah bertemu, sang sultan memintanya
untuk menjadi mufti di negerinya. Namun permintaan itu ditolak olehnya
dengan baik dan bersahabat.
Habib
Abdullah tinggal di Johor selama empat tahun dan menikah dengan seorang
syarifah dari keluarga Bin Syahab. Namun istrinya wafat tak lama setelah
mereka menikah.
Setelah
empat tahun di Johor, ia meneruskan perjalanan dakwahnya ke Pulau Jawa.
Mula-mula ia tiba di Betawi, yang ketika itu masih dalam pemerintahan
Hindia Belanda. Tak lama di Betawi ia lalu meneruskan ke Bogor, Solo,
dan Surabaya, tetapi semua kota di Indonesia yang /disinggalhi dan
dilaluinya tak dapat menarik hatinya untuk menetap di tempat tersebut,
walaupun penduduk setempat meminta kesediaannya agar ber¬kenan tinggal
di tengah-tengah mereka.
Syawwal 1301
H/1903 M ia mulai menetap di kota Bsangil, Jawa Timur. Di sinilah
akhirnya ia memutuskan untuk tinggal dan berdakwah.
Tanggal 27
Jumadal Ula 1302 H/ 1903 M ia menikah lagi dengan Syarifah Maryam binti
Ali Alaydrus, seorang wanita yang dikenal keshalihahannya. Di antara
putra hasil pernikahannya dengan Syarifah Maryam adalah Muhammad, Hamid,
Ali, dan Umar.
Di rumahnya,
ia membuka majlis ta'lim di Masjid Kal ianyar. Di antara muridnya, ada
yang kemudian menjadi ulama di kemudian hari, seperti Kiai Zayadi, Kiai
Husain, Kiai Musthafa, Kiai Asyiq, serta Kiai Muhammad Thahir dari
Bangku, Singosari. Disebutkan, Kiai Cholil Bangkalan dan Kiai Hasyim
Asy'ari Jombang juga termasiuk yang beristifadah (mengambil faidahi
ilmu) kepada Habib Abdullah, di antaramya dengan mengambil ijazah
darinya. Sementara, dari kalangan habaib sendiri, yang sempat
beristifadah kepadanya, di antaranya Habib Muhammad bin Ahmad
Al-Muhdhar, Habib Alwi bin Muhammad Al-Haddad, Habib Ali bin
Abdiurrahman Al-Habsyi, Habib Ahmad bin Muhsin Al-Haddar.
Majelis
rauhahnya di masjid Kalianyar, ia membacaakan kitab-kitab karya Habib
Abdullah bin Alwi Al-Haddad. Rauhah ini dihadiri sekitar 60 orang.
Dikisahkan, suatu ketika, saat itu waktu menjelang datangnya maghrib, kopi yang ia siapkan dari rumah yang ditempatkan di ceret berukuran agak kecil, yang hanya cukup untuk jama'ah yang hadir, telah dlituangkan.
Dikisahkan, suatu ketika, saat itu waktu menjelang datangnya maghrib, kopi yang ia siapkan dari rumah yang ditempatkan di ceret berukuran agak kecil, yang hanya cukup untuk jama'ah yang hadir, telah dlituangkan.
Di tengah
berjalannya majelis, tiba- tiba datanglah Habib Muhammad bin Ahmad
Al-Muhdhar dengan rombongannya, sekitar 60 orang. Maka, Habib Abdullah
menyuruh Syaikh Mubarak Jabli menuangkan kopi agar menghidangkan¬nya
kepada para tamunya.
Pada saat
menuangkan kopi, Syaikh Mubarak yakin bahwa kopinya telah habis. "Apa
yang harus saya tuang? Sudah tidak ada kopi setetes pun dalam ceret
ini," begitulah kira-kira Syaikh Mubarak berkata di dalam hati.
Kemudian Habib Abdullah mengulangi perintahnya, "Segera tuangkan kopinya!"
Syaikh Mubarak, yang kala itu berdekatan dengan putra Habib Abdullah, yaitu Habib Muhammad, memegang kaki putranya itu sambil berbisik, 'Tolong sampaikan, ceretnya sudah kosong!"
Syaikh Mubarak, yang kala itu berdekatan dengan putra Habib Abdullah, yaitu Habib Muhammad, memegang kaki putranya itu sambil berbisik, 'Tolong sampaikan, ceretnya sudah kosong!"
Habib Muhammad menjawab, 'Turutilah perintah Al-Walid (Ayahanda)!"
Lalu Syaikh
Mubarak pun menuang-kan ceret yang diyakininya telah kosong itu.
Ternyata, atas izin Allah, tuangan demi tuangan Syaikh Jabir dapat
memenuhi seluruh cangkir yang ada. Bahkan, berlebih.
Manhaj Dakwah Rasulullah
Kembali pada qashidah taiyyah al-kubra gubahan Shahiburratib Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad. Dalam qashidahnya itu, Habib Abdullah mensifati beberapa keadaan para kekasih Allah. Di antaranya, ada di antara mereka yang lebih suka sembunyi atau ingin menyendiri dan ada di antara mereka yang berbaur. Kesemuanya, tak diragukan lagi, adalah para kekasih Allah.
Kembali pada qashidah taiyyah al-kubra gubahan Shahiburratib Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad. Dalam qashidahnya itu, Habib Abdullah mensifati beberapa keadaan para kekasih Allah. Di antaranya, ada di antara mereka yang lebih suka sembunyi atau ingin menyendiri dan ada di antara mereka yang berbaur. Kesemuanya, tak diragukan lagi, adalah para kekasih Allah.
Selanjutnya,
disebutkan dalam qashidah itu, ketika Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad
ditanya, siapa yang paling mulia di antara para kekasih Allah dengan
segala keadaannya itu, Habib Abdullah menjawab bahwa yang paling mulia
adalah mereka yang menampakkan dirinya di jalan Allah SWT dengan
mengajari masyarakat umum, karena itulah gambaran kedudukan yang
termulia. Jasadnya bersama orang banyak, namun hatinya bersama Allah
SWT.
Maka
demikian pulalah yang dijalani cucu Shahiburratib ini, yang termasuk
dari golongan yang mengajar dan mengingatkan orang kepada jalan yang
benar. Karena demikian pulalah Rasulullah SAW, yang hatinya tak lagi
berjarak dengan Allah SWT, tapi juga senantiasa berada di tengah-tengah
umat.
"Saya
menyarankan agar mereka, orang-orang yang memiliki wawasan ilmu yang
cukup itu, berjalan dari satu desa ke desa lain untuk berdakwah," ujar
Habib Salim menjelaskan dalam majelis rauhahnya itu.
"Kenapa sasarannya desa atau daerah terpencil...?" tanya Habib Salim.
Sebab,
menurut Habib Salim, "Daerah-daerah terpencil seperti itu pada umumnya
penduduknya masih banyak yang jauh dari pemahaman agama. Sehingga,
berdakwah di desa atau tem¬pat-tempat terpencil merupakan dakwah yang
tepat sasaran," kata Habib Salim.
Maka,
demikian pulalah Habib Abdullah dan orang-orang semacamnya, yang memilih
kawasan terpencil, yang tak jarang penduduknya tak tersentuh oleh
dakwah.
Selain
mengajar dan berdakwah, Habib Abdullah juga seorang ulama sastrawan.
Kumpulan syairnya dibukukan dalam bentuk diwan (kumpulan syair) yang
diberi nama Al-Qalaid al-Lisan HAhl al-islam wa al-lman. la juga menulis
sejumlah kitab, di antaranya Sullam ath-Thalib li A'la al-Maratib
syarah Ratib al- Haddad, Hujjah al-Mu'minin fi Tawassul bisayyidil
Mursalin, Maulidil Haddad — dalam bentuk nazham (prosa) tentang
kelahiran Rasulullah SAW.
Sampai
akhirnya, pada hari Jum'at sore, tanggal 15 Shafar 1331 H di kota
Bangil, ia dipanggil menghadap Sang Khaliq. la dimakamkan dekat
mushallanya yang terletak di daerah Sangeng Kramat, Bangil. Putranya
yang masih hidup dan dewasa saat wafatnya adalah Habib Muhammad bin
Abdullah Al-Haddad, Habib Ahmad bin Abdullah Al-Haddad, dan Habib Ali
bin Abdullah Al-Haddad, seorang yang alim dan sabar. Setiap tanggal 27
Shafar diadakan acara haul di makamnya di Sangeng Kramat, Bangil.
Habib
Abdullah memiliki beberapa sahabat akrab, di antaranya Habib Abdul Qadir
bin Alwi Assegaf Tuban, yang dikenalnya sejak usia remaja. Di akhir
umurnya, Habib Abdullah Al-Hadad berkirim surat kepada sang sahabat,
yang di antaranya berisi, "Sesungguhnya jiwa-jiwa itu saling terpaut."
Setelah
Habib Abdullah bin Ali Al-Haddad wafat, 27 hari kemudian Habib Abdul
Qadir wafat menyusul kepergian Habib Abdullah menuju ke haribaan kekasih
mereka, Allah SWT.
Disadur oleh M. Luqman Firmansyah dari Majalah Alkisah No. 01/Tahun XI hal. 138
0 komentar:
Posting Komentar