![]()  | 
| Glodok tahun 1948 | 
Glodok adalah salah satu bagian dari kota lama Jakarta. Sejak masa pemerintahan Hindia Belanda, daerah ini juga dikenal sebagai Pecinan terbesar di Batavia. Mayoritas warga Glodok merupakan keturunan Tionghoa. Di masa kini Glodok dikenal sebagai salah satu sentra penjualan elektronik di Jakarta, Indonesia. Secara administratif, daerah ini merupakan Kelurahan yang termasuk dalam wilayah kecamatan Taman Sari, Jakarta Barat.
Glodok yang mendapat julukan China Town atau  Pecinan diabadikan melalui foto sekitar tahun 1940. Dalam foto  tersebut, terlihat gedung-gedung tua dengan aksara Mandarin. Sedangkan,  rumah-rumah yang sekaligus toko (ruko) masih meniru gaya di daratan  Cina. Masih terlihat tiang listrik dan telepon yang kini sudah tidak  terdapat lagi dan berada di bawah tanah.
Glodok 60 tahun lalu ramai dengan manusia yang lalu lalang. Sado  merupakan alat tranportasi utama kala itu, sedangkan becak baru muncul  setelah pendudukan Jepang (1942-1945). Kini, banyak warga Tionghoa di  Glodok yang menjadikan kawasan ini sebagai tempat menggelar dagangannya.  Sebagian mereka telah pindah ke kawasan elite dan memiliki rumah mewah, seperti di Pantai Indah Kapuk, Pluit, Sunter, Ancol, dan Pondok Indah. Glodok pada masa Belanda seperti juga sekarang merupakan wilayah  ekonomi yang tak henti memompa denyut perdagangan, bukan hanya sekadar  kawasan yang identik dengan Pecinan. Dalam sejarah kontemporer Jakarta,  Glodok punya banyak arti: perjuangan kaum migran, kejayaan,  keterpurukan, dan perlawanan terhadap nasib dan penindasan. Ada banyak  hal untuk mengenang Glodok tempo doeloe: para kapitan Cina selama  ratusan tahun berjaya, ribuan orang Cina pernah dibantai dengan kejam  oleh Belanda, nostalgia Imlek (tahun baru Cina), Cap Go Meh (malam ke-15  Imlek), dan Peh Cun (hari ke-100 tahun baru Imlek).
![]()  | 
| Suasana Glodok Tempoe Doeloe | 
Jejak-jejak tersebut terus luntur dimakan waktu dan zaman. Padahal,  itu masih tetap terasa kental dan menjadi sejarah yang memperkaya  Jakarta. Setelah 30 tahun dilarang Orde Baru, kini menjelang Imlek kita  dapati Glodok tengah bersiap merayakan hari tahun barunya. Tidak disangsikan lagi, Glodok adalah daerah tradisional, tradisi  yang berasal dari negeri leluhur ketika mereka berimigrasi besarbesaran  sekitar 400 tahun lalu dari daratan Cina. Kalau kita mau lebih mendalam  lagi mengetahui asal usulnya, glodok berasal dari nama yang berbunyi  grojok grojok. Tempat ini merupakan pemberhentian kuda kuda penarik  beban untuk diberi minum. 
Di kawasan Glodok, terdapat pertokoan Pancoran  yang dulunya adalah tempat orang mengambil air minum dan mandi. Menjelajahi atau melihat foto-foto abad ke-19 dan awal abad ke-20,  kita akan mendapati orang Tionghoa yang lalu lalang dengan rambut  dikepang panjang ke belakang dan bagian depan dicukur licin. Hal itu  merupakan tradisi warisan dari Manchu yang menjajah daratan Cina selama  tiga ratus tahun. Pemerintah kolonial Belanda sendiri, di samping  mengharuskan orang Cina tinggal di satu tempat, melarang mereka  berbusana seperti pribumi dan Barat. Mereka yang melanggar peraturan ini  dikenakan hukuman denda, bahkan kurungan.
![]()  | 
| Suasana Glodok Sebelum Perang | 
Kata Glodok berasal dari Bahasa Sunda "Golodog". Golodog berarti  pintu masuk rumah, karena Sunda Kalapa(Jakarta) merupakan pintu masuk ke  kerajaan Sunda. Karena sebelum dikuasai Belanda yang membawa para  pekerja dari berbagai daerah dan menjadi Betawi atau Batavia, Sunda  Kelapa dihuni oleh orang Sunda. Perubahan 'G' jadi 'K' di belakang  sering ditemukan pada kata-kata Sunda yg dieja oleh orang non-Sunda,  terutama suku Jawa dan Melayu yang kemudian banyak menghuni Jakarta.  Sampai saat ini di Jakarta masih banyak ditemui nama daerah yang berasal  dari Bahasa Sunda meski dengan ejaan yang telah sedikit berubah. Nama Glodok juga berasal dari suara air pancuran dari sebuah gedung  kecil persegi delapan di tengah-tengah halaman gedung Balai Kota  (Stadhuis)-pusat pemerintahan Kompeni Belanda di kota Batavia.
Gedung persegi delapan ini, dibangun sekitar tahun 1743 dan sempat dirubuhkan sebelum dibangun kembali tahun 1972, banyak membantu serdadu Kumpeni Belanda karena di situlah mengalir air bersih yang dapat digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Tak cuma bagi serdadu Kumpeni Belanda tapi juga dimanfaatkan minum bagi kuda-kuda serdadu usai mengadakan perjalanan jauh. Bunyi air pancurannya grojok..grojok..grojok. Sehingga kemudian bunyi yang bersumber dari gedung kecil persegi delapan itu dieja penduduk pribumi sebagai Glodok.
Dari nama ”Pancuran” akhirnya menjadi nama sebuah daerah yang kini  dikenal sebagai Pancoran atau orang di kawasan Jakarta Kota menyebutnya  dengan istilah ”Glodok Pancoran”. Hingga kini kedua nama yakni Glodok  dan Glodok Pancoran masih akrab di telinga orang Jakarta, bahkan hingga  ke luar Jakarta.
Referensi: Wikipedia dan Digital Batavia
Referensi: Wikipedia dan Digital Batavia









0 comments:
Posting Komentar