PERISAI MUKMIN CHANNEL YOUTUBE

Channel youtube berbagi kumpulan shalawat nabi dan dzikir serta kisah islami

SHALAWAT SULTHON MAHMUD AL-GHOZNAWI

Sekali Baca = 300.000 Shalawat! Shalawat Sulthon Mahmud Al-Ghoznawi | Dahsyatnya Keutamaan!

THORIQOH SAMMANIYAH ABAH GURU SEKUMPUL

Dzikir Paling LANGKA Dalam 100 Tahun | Hanya Diberikan Kepada 1 Orang

Ustadz Abdul Shomad Lc MA

Amalan Penghapus Dosa dan Mengangkat Derajat

Ijazah Membuka Sesuatu yang tertutup

Ijazah amalan dari Habib Syech untuk membuka sesuatu yang tertutup

KEUTAMAAN DAN BERKAH MANDI DI WAKTU FAJAR

keistimewaan mandi fajar yaitu mandi pada pagi hari sebelum adzan subuh yang sebagian orang tidak mengetahuinya.

HAJAT TERKABUL DENGAN ISTIQOMAH SHALAT TASBIH

Memohon hajat yang sulit agar terkabul dengan barokah melaksanakan shalat tasbih

Kamis, 12 Juni 2025

Sultan Mahmud Ghoznawi Sultan Pertama di Dunia

 SULTAN MAHMUD GHOZNAWI SULTAN PERTAMA  DI DUNIA

Penguasa pertama dalam sejarah dunia yang mengenakan gelar sultan secara resmi adalah Sultan Mahmud Ghaznawi, pendiri Dinasti Ghaznawiyah.”

Sultan Mahmud Al-Ghoznawi Sultan Pertama di Dunia
Sultan
adalah gelar kebangsawanan dengan beberapa makna sejarah. Awalnya, itu adalah kata benda abstrak bahasa Arab yang berarti ‘kekuatan’, ‘kekuasaan’, ‘pemerintahan’, atau ‘kediktatoran’, berasal dari kata dasar (masdar) ‘sultoh’ ( سلطة), yang berarti ‘kekuasaan’ atau ‘kekuatan’. Kemudian, sultan digunakan sebagai gelar penguasa tertentu yang mengklaim kedaulatan penuh secara praktis, tanpa mengklaim kekhalifahan secara keseluruhan, atau untuk merujuk pada seorang gubernur yang kuat dari sebuah provinsi di dalam kekhalifahan. Dinasti dan wilayah yang diperintah oleh sultan disebut sebagai kesultanan. Bentuk feminim sultan yang digunakan oleh orang Barat adalah ‘sultana’ atau ‘sultanah’; dalam beberapa referensi sultana bisa juga mengacu kepada istri seorang sultan, atau seorang sultan perempuan.

Dunia Islam mengenal nama-nama raja besar ternama yang memakai gelar sultan, misalnya saja Sultan al-Muzhafar Saifuddin Qutuz dari Dinasti Mamluk, Sultan Suleiman Agung dari Dinasti Ustmani (Ottoman), Sultan Salahuddin Ayyubi dari Dinasti Ayyubi, dan Sultan Malik Syah dari Dinasti Seljuk. Sementara itu, di Indonesia sendiri, meskipun sekarang sudah masuk ke dalam sistem kenegaraan Republik, beberapa wilayah masih menggunakan gelar kesultanan yang merupakan warisan monarki dari masa sebelum kemerdekaan, misalnya saja Kesultanan Yogyakarta dan Kesultanan Cirebon. Namun, sebenarnya siapakah Sultan pertama di dalam dunia Islam..?

Di dalam buku karya Riad Aziz Kassis yang berjudul The Book of Proverbs and Arabic Proverbial Works, dikatakan bahwa Khalifah Abu Ja’far Abdallah ibn Muhammad al-Mansur (714-775 M), atau biasa disebut Khalifah al-Mansur, khalifah ke-2 Dinasti Abbasiyah, memiliki gelar lain sebagai “Sultan Allah”. Makna sultan di masa itu adalah “bayangan Allah di muka bumi”. Meskipun demikian itu bukan titel resmi, secara resmi al-Mansur adalah seorang khalifah.
 
Penguasa pertama dalam sejarah dunia yang mengenakan gelar sultan secara resmi adalah Sultan Mahmud Ghaznawi, pendiri Dinasti Ghaznawiyah. Gelar tersebut disematkan kepadanya dengan makna bahwa dia merupakan seorang Khalifah Muslim, pemimpin tertinggi dalam otoritas keagamaan, dan pemimpin politik dari sebuah wilayah kekuasaan yang sangat luas, yang mana mencakup Iran, Turkmenistan, Uzbekistan, Kyrgyzstan, Afghanistan, Pakistan, dan India utara pada hari ini.

Pada tahun 971 M, Yamin ad-Dawlah Abdul-Qasim Mahmud bin Sabuktegin, atau lebih dikenal sebagai Mahmud Ghaznawi, lahir di kota Ghazna, sekarang di Afghanistan tenggara. Ayahnya, Abu Mansur Sabuktegin, adalah orang Turki, mantan prajurit Mamluk dari Ghazni.

Kata “Mamluk” berasal dari bahasa Arab yang berarti “seseorang yang dimiliki”, maknanya setara dengan kepemilikan terhadap barang tertentu, atau bila disederhanakan, Mamluk artinya adalah “budak”. Meskipun Mamluk secara faktanya memang budak, namun penting untuk diketahui bahwa gambaran tentang sosok Mamluk jauh dari gambaran umum tentang budak

Mamluk adalah prajurit elit yang tadinya merupakan tawanan perang, kemudian dipekerjakan untuk mengabdi secara militer kepada seorang khalifah. Pemanfaatan orang-orang Mamluk sebagai komponen utama tentara Muslim, yang nantinya akan menjadi ciri khas peradaban Islam, pertama kalinya terjadi pada awal abad ke-9. Praktek ini dimulai di Baghdad oleh khalifah Abbasiyah pada waktu itu, al-Muʿtaṣim (833–842). Segera setelahnya praktek ini menjadi menyebar ke seluruh dunia Muslim.

Masa Kecil Mahmud Ghaznawi
Ketika Dinasti Samaniyah (819–999), yang berbasis di Bukhara (sekarang di Uzbekistan) mulai runtuh, Sabuktegin mengambil alih kekuasaan di kampung halamannya di Ghazni pada tahun 977. Dia kemudian melanjutkan penaklukkan terhadap kota-kota besar Afghanistan lainnya, di antaranya Kandahar. Kerajaan yang dibangunnya membentuk inti dari kekuasaan Dinasti Ghaznawiyah yang akan datang, dan dia dinobatkan sebagai pendiri tonggak awal dinasti. Ibu Mahmud kemungkinan adalah istri muda Sabuktegin yang tadinya merupakan seorang budak, namun siapa namanya tidak diketahui.

Tidak banyak yang diketahui tentang masa kecil Mahmud. Informasi yang diketahui hanya bahwa dia memiliki dua adik laki-laki. Adiknya yang pertama bernama Ismail, dia merupakan anak dari istri pertama Sabuktegin. Namun, faktanya Ibunda Ismail adalah seorang wanita berdarah bangsawan yang terlahir sebagai manusia merdeka. Persoalan keturunan ini nantinya akan menjadi kunci dari proses suksesi yang terjadi ketika Sabuktegin meninggal selama kampanye militer pada tahun 997.

Di pembaringan, Sabuktegin menyerahkan tahta kekuasaan kepada Ismail. Mahmud, waktu itu berusia 27 tahun, yang merupakan anak pertama, dan secara militer dan diplomatik sebenarnya lebih unggul, dilewati oleh adiknya tirinya sendiri. Besar kemungkinan alasan Sabuktegin memilih Ismail adalah karena dia adalah satu-satunya anak yang lahir dari keturunan bangsawan dari pihak Ibunya. Tidak seperti Mahmud dan adik ketiganya yang baik ayah maupun ibunya berasal dari kalangan budak.


Ketika Ismail diangkat menjadi raja baru, Mahmud Ghaznawi sedang ditempatkan di Nishapur (sekarang di Iran). Mendengar adiknya naik tahta, dia segera melakukan perjalanan ke timur, menentang pengangkatan Ismail. Maka terjadilah perang, Mahmud dapat mengalahkan Ismail, adiknya sendiri, pada tahun 998. Mahmud kemudian mengambil alih Ghazhni, mengangkat dirinya sendiri menjadi raja, dan menempatkan adik laki-lakinya menjadi tahanan rumah selama sisa hidupnya. Setelah naik tahta Mahmud akan terus memerintah sampai kematiannya pada tahun 1030.

Setelah menjadi sultan, Mahmud memperluas wilayah kekuasaan Dinasti Ghaznawiyah ke wilayah-wilayah yang dulunya merupakan daerah kekuasaan kerajaan kuno, yaitu Kerajaan Kushan. Dalam kampanyenya, dia menggunakan teknik dan taktik militer khas Asia Tengah, yang terutama mengandalkan kavaleri berkuda yang sangat mudah berpindah-pindah, yang dipersenjatai dengan busur pendek (compound bows).

Invasi ke India
Pada tahun 1001, Mahmud mengalihkan perhatiannya ke tanah subur Punjab (sekarang di India), yang terletak di tenggara kesultanannya. Wilayah yang menjadi targetnya adalah wilayah kekuasaan milik raja-raja Hindu Rajput yang terkenal ganas namun mereka tidak bersatu dan terpecah-pecah, mereka menolak untuk bekerja sama untuk membentuk pertahanan yang solid atas ancaman kerjaan Muslim yang akan masuk melalui Afghanistan. Selain itu, orang-orang Rajput menggunakan kombinasi infantri dan kavaleri, sebuah bentuk formasi yang tangguh tetapi lebih lambat dari pasukan berkuda Ghaznawiyah.

Juga dilaporkan, mereka terlalu mengandalkan gajah, sementara itu, pasukan Mahmud sudah lebih modern, mereka memiliki sistem organisasi, disiplin, dan ikatan yang lebih baik.

Selama tiga dekade berikutnya, Sultan Mahmud melakukan lebih dari selusin serangan militer ke kerajaan-kerajaan Hindu dan Ismailiyah di utara. Sebelum kematiannya, kesultanannya membentang sampai ke pantai Samudra Hindia di Gujarat selatan.

Mahmud menunjuk raja-raja lokal untuk menjadi bawahan yang memerintah atas namanya di banyak daerah yang telah ditaklukkan. Selain itu dia juga membuka hubungan baik dengan masyarakat non-Muslim. Dia menyambut para prajurit dan perwira Hindu dan Ismailiyah yang ingin bergabung ke dalam pasukannya. Namun, karena ekspansi dan peperangan yang terus-menerus, pada tahun-tahun terakhir masa pemerintahannya, kondisi keuangan Dinasti Ghaznawiyah mulai sulit. Akibatnya Mahmud memerintahkan pasukannya untuk menyerang kuil-kuil Hindu dan menjarah sejumlah besar emas.

Pada tahun 1026, Sultan Mahmud yang sudah berusia 55 tahun berangkat untuk menyerang negara bagian Kathiawar, yang berada di pantai barat India (Laut Arab). Pasukannya melaju ke ujung selatan Somnath, yang terkenal dengan kuil yang indah Dewa Siwa.

Meskipun pasukan Mahmud berhasil menduduki Somnath, dan menjarah dan menghancurkan kuil, namun berita buruk datang dari Afghanistan. Sejumlah suku Turki telah bangkit untuk menantang pemerintahan Ghaznawiyah, termasuk di antaranya orang-orang Turki Seljuk, yang telah merebut Merv (Turkmenistan) dan Nishapur (Iran). Pada saat Mahmud meninggal pada 30 April 1030, para pemberontak ini sudah mulai menggerogoti perbatasan-perbatasan wilayah kekuasaan Kesultanan Ghaznawiyah. Sultan Mahmud meninggal pada usia 59 tahun.

Warisan Sultan Mahmud
Sultan Mahmud menghabiskan sebagian besar hidupnya berjuang melawan orang-orang yang dia anggap “kafir” yaitu Hindu, Jain, Buddha, dan kelompok minoritas Muslim seperti Syiah Ismailiyah. Kenyataannya, kaum Ismailiyah tampaknya telah menjadi sasaran khusus dari kemarahannya, karena Mahmud (dan penguasa di atasnya, yang sebenarnya hanya sebatas formalitas, yakni Kekhalifahan Abbasiyah) menganggap mereka adalah pelaku bid’ah.

Meskipun demikian, Mahmud Ghaznawi tampaknya lebih toleran terhadap orang-orang non-Muslim selama mereka tidak menentangnya secara militer. Toleransi warisan Mahmud relatif akan terus berlanjut ke kerajaan Muslim berikutnya di India: Kesultanan Delhi (1206-1526) dan Kekaisaran Mughal (1526-1857).

Dalam hal keilmuan, Sultan Mahmud dikenal menyukai buku dan menghormati orang-orang terpelajar. Di jantung kekuasaanya, Ghazni, dia membangun perpustakaan untuk menyaingi istana kekhalifahan Abbasiyyah di Baghdad (sekarang di Irak). Mahmud juga mensponsori pembangunan universitas, istana, dan masjid agung, menjadikan ibukotanya sebagai permata di Asia Tengah.

Rakyatnya mengenal Mahmud sebagai seorang yang saleh dan sangat suka belajar. Pada masa Mahmud berkuasalah wilayah Persia dilaporkan mengalami kemajuan pesat. Salah satu indikasinya adalah dengan diterbitkannya buku yang berjudul Shahnameh (Kitab para Raja) karya penyair Persia, Abul-Qasim Firdausi Tusi (940–1020)

Mahmud meninggalkan berbagai warisan. Dinastinya akan bertahan sampai tahun 1187, meskipun sudah mulai runtuh dari barat ke timur bahkan sebelum kematiannya. Pada tahun 1151, Sultan Ghaznawiyah penerus Mahmud, Bahram Shah, kehilangan Ghazni, dan melarikan diri ke Lahore (sekarang di Pakistan).

SULTAN YANG GEMAR MEMPERBANYAK SHALAWAT

Sultan Mahmud al-Ghoznawi sepanjang hidupnya raja selalu menyibukkan dirinya dengan membaca sholawat kepada Nabi Muhammad Saw.

Setiap selesai sholat subuh, sang raja membaca shalawat sebanyak  300.000 kali. Begitu asyiknya raja membaca shalawat sebanyak itu, seolah-olah beliau lupa akan tugasnya sebagai seorang raja, yang dipundaknya tertumpu berbagai tugas negara dan berbagai macam harapan rakyatnya yang bergantung kepadanya. Sehingga kalau pagi tiba, sudah banyak rakyatnya yang berkumpul di istana menunggu sang raja, untuk mengadukan persoalannya.

Namun sang raja yang ditunggu-tunggu tidak kunjung hadir. Sebab sang raja tidak akan keluar dari kamarnya, walau hari telah siang, jika belum menyelesaikan wirid shalawatnya. Setelah kejadian ini berlangsung agak lama, pada suatu malam beliau bermimpi bertemu dengan Rosululloh SAW.

Didalam mimpinya, Rasulullaah Saw bertanya, “Mengapa kamu berlama-lama di dalam kamar.? Sedangkan rakyatmu selalu menunggu kehadiranmu untuk mengadukan berbagai persoalan mereka,”

Raja menjawab, “Saya duduk berlama-lama begitu, tak lain karena saya membaca shalawat kepadamu sebanyak tiga ratus ribu kali, dan saya berjanji tidak akan keluar kamar sebelum bacaan sholawat saya selesai,”

Rasulullaah SAW lalu berkata, “Kalau begitu kasihan orang-orang yang punya keperluan dan orang-orang lemah yang memerlukan perhatianmu. Sekarang aku akan ajarkan kepadamu sholawat yang apabila kamu baca sekali saja, maka nilai pahalanya sama dengan bacaan 100.000 kali shalawat. Jadi kalau kamu baca tiga kali, pahalanya sama dengan tiga ratus ribu kali shalawat yang kamu baca,”

Rosululloh SAW lalu membacakan lafazh shalawat yang kemudian dikenal dengan nama shalawat Sultan.

Akhirnya, raja Mahmud lalu mengikuti anjuran Rasulullaah SAW tersebut, yaitu membaca shalawat tadi sebanyak tiga kali. Dengan cara demikian, sholawat dapat beliau baca dan urusan negara dapat dijalankan dengan sempurna. Setelah beberapa waktu mengamalkan sholawat itu, raja kembali bermimpi bertemu Rosululloh Saw.

Kemudian Rasulullaah Saw bertanya kepadanya, “Apa yang kamu lakukan, sehingga malaikat kewalahan menuliskan pahala amalmu?”

Raja menjawab, “Saya tidak mengamalkan sesuatu, kecuali mengamalkan sholawat yang anda ajarkan kepada saya itu.”

Perisai Mukmin Youtube Channel

Jumat, 06 Juni 2025

Cara Menyembelih Hewan Kurban Secara Syar’i Dan Mudah Dipahami

 Doa Dan Tata Cara Menyembelih Hewan Kurban Secara Syar’i Dan Mudah Dipahami

Idul Adha, juga dikenal sebagai Hari Raya Kurban, merupakan salah satu perayaan penting dalam agama Islam. Pada hari yang mulia ini, umat Muslim di seluruh dunia menyembelih hewan kurban sebagai bentuk ibadah dan pengorbanan kepada Allah SWT. 
Cara Menyembelih Hewan Kurban Secara Syar’i Dan Mudah Dipahami
Bagi yang akan melaksanakan penyembelihan hewan kurban, berikut adalah tata cara yang syari dan mudah dipahami. 

1. Menggunakan Alat Penyembelihan Yang Tajam
Rasulullah telah mengajarkan agar kita berbuat baik dalam segala hal, termasuk dalam penyembelihan hewan kurban. 
Salah satu tindakan baik yang dianjurkan adalah menggunakan alat penyembelihan yang tajam. Alat yang tajam akan memudahkan proses penyembelihan dan mengurangi penderitaan hewan tersebut.

2. Menghadapkan Hewan Ke Arah Kiblat
Sebelum menyembelih hewan kurban, pastikan untuk menghadapkan hewan ke arah kiblat, yaitu kearah Ka'bah di Makkah.  Posisi kepala hewan yang akan disembelih bisa di sebelah utara atau di sebelah selatan.

3. Berdoa dengan Penuh Khidmat
Setelah menghadapkan hewan ke arah kiblat, luangkan waktu sejenak untuk berdoa dengan khidmat. 

Ucapkan doa berikut ini:
"إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنْ الْمُشْرِكِينَ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُوَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ اللَّهُمَّ مِنْكَ وَلَكَ عَنْ مُحَمَّدٍ وَأُمَّتِهِ"
“Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada Dzat yang telah menciptakan langit dan bumi dengan tulus ikhlas dan menyerahkan diri, dan aku bukanlah golongan orang-orang musyrik. Sesungguhnya shalatku, pengabdianku, hidupku, dan matiku adalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya, dan demikian aku diperintahkan"

Setelah berdoa dengan penuh khidmat, saatnya melanjutkan proses penyembelihan hewan kurban. Pastikan untuk melakukannya dengan hati yang tenang dan konsentrasi penuh.

4. Memutuskan Tenggorokan Dan Urat Nadi
Ketika akan menyembelih hewan kurban, pastikan untuk memutuskan tenggorokan dan dua urat nadi yang ada di leher hewan tersebut. Hal ini dilakukan untuk memastikan penyembelihan dilakukan dengan sempurna dan sesuai syariat.

Pembagian Daging Kurban
Setelah hewan kurban disembelih, dagingnya akan dibagikan kepada penerima yang berhak. Berikut adalah tata cara pembagian daging kurban berdasarkan ayat-ayat Al-Qur'an dan hadis Nabi:

1. Shohibul Kurban
Pemilik hewan kurban atau shahibul kurban berhak memanfaatkan bagian-bagian hewan kurban sesuai keperluan. Ia dapat memakan daging kurban, memanfaatkan kulitnya, dan memberikan bagian kepada orang yang berkecukupan.

2. Orang yang Sengsara dan Faqir
Sebagian daging kurban juga harus diberikan kepada orang yang hidup dalam kesulitan dan kekurangan (sengsara dan faqir). Ini bertujuan untuk membantu mereka dalam memenuhi kebutuhan makanan.

3. Orang yang Tidak Minta-minta dan Minta-minta
Dalam pembagian daging kurban, juga harus memperhatikan orang yang tidak meminta-minta (al-Qaani') dan yang meminta-minta (al-Mu'tar). Keduanya berhak mendapatkan bagian dari daging kurban sesuai kebutuhan mereka.

4. Orang-orang Miskin
Selain itu, daging kurban juga harus diberikan kepada orang-orang miskin yang membutuhkan. Pembagian ini bertujuan untuk membantu mereka dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Hal-hal Yang Boleh Dan Tidak Boleh Dilakukan Oleh Shahibul Kurban
Sebagai shahibul kurban, terdapat beberapa hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Berikut adalah penjelasannya:

Hal Yang Boleh Dilakukan:
1. Memanfaatkan kulit hewan kurban untuk keperluan tertentu.
2. Memberikan bagian daging kurban kepada orang yang berkecukupan.
3. Menyedekahkan daging kurban kepada fakir miskin.
4. Membagikan seluruh bagian hewan kurban, termasuk daging, kulit, dan pakaian hewan kurban.
5. Memakan daging kurban dengan disertai rasa syukur kepada Allah SWT.

Hal Yang Tidak Boleh Dilakukan:
1. Menjual bagian dari hewan kurban, baik daging, kulit, maupun bagian lainnya.
2. Memberikan bagian dari hewan kurban sebagai upah penyembelihan, namun boleh diberikan sebagai bagian dari penerima daging kurban.
Dengan memahami tata cara penyembelihan hewan kurban dan pembagian dagingnya, kita dapat melaksanakan ibadah kurban dengan baik dan sesuai dengan syariat Islam.
Perisai Mukmin Youtube Channel
Semoga Allah menerima amal ibadah kita. Aamiin.

Sejarah dan Asal-Usul Qurban Sejak Nabi Ibrahim AS

Sejarah dan Asal-Usul Qurban Sejak Nabi Ibrahim AS: Jejak Pengorbanan Agung dalam Islam

Sejarah dan Asal-Usul Qurban Sejak Nabi Ibrahim AS
Setiap datangnya bulan Dzulhijjah, umat Islam di seluruh dunia melaksanakan ibadah qurban sebagai bentuk ketundukan kepada Allah SWT. Tapi tahukah Anda bahwa ibadah ini berakar dari sebuah kisah agung penuh pengorbanan antara seorang ayah dan anak yaitu Nabi Ibrahim AS dan putranya, Nabi Ismail AS.

Artikel ini akan mengupas secara lengkap sejarah dan asal-usul qurban, mulai dari wahyu pertama tentang perintah penyembelihan hingga bagaimana tradisi ini dilestarikan dalam syariat Islam hingga kini.

1. Perintah Qurban dalam Kisah Nabi Ibrahim AS
Ibadah qurban berakar dari kisah luar biasa Nabi Ibrahim AS. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT menceritakan bahwa Ibrahim menerima perintah dalam mimpi untuk menyembelih anaknya yang sangat ia cintai, Ismail AS:
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يٰبُنَيَّ اِنِّيْٓ اَرٰى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْٓ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰىۗ قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ
Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: 'Wahai anakku! Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!' Ia menjawab: 'Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.'" (QS. As-Saffat: 102)

Perintah ini adalah ujian dari Allah untuk menguji keikhlasan dan ketundukan dua hamba-Nya. Dan ketika Ibrahim hendak menyembelih Ismail, Allah menggantikannya dengan seekor hewan sembelihan:
وَفَدَيْنٰهُ بِذِبْحٍ عَظِيْمٍ
"Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar." (QS. As-Saffat: 107)


2. Nilai Spiritualitas di Balik Kisah Qurban
Kisah ini bukan semata sejarah, tapi sarat makna: 
  • Ketundukan total kepada kehendak Allah
  • Cinta kepada Allah melebihi cinta kepada anak atau harta
  • Kesabaran dan keikhlasan dalam menghadapi ujian terberat
  • Ibadah qurban adalah simbol dari penyerahan diri yang utuh. Dalam Islam, setiap bentuk pengorbanan yang dilakukan karena Allah memiliki nilai besar di sisi-Nya.
3. Qurban dalam Syariat Nabi Muhammad SAW
Tradisi qurban kemudian dilestarikan oleh Nabi Muhammad SAW dan menjadi syariat Islam. Dalam hadis disebutkan:

"Tidak ada suatu amalan yang paling dicintai oleh Allah dari Bani Adam pada hari Nahr (Idul Adha) selain menyembelih qurban." (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah)

Nabi sendiri selalu berqurban, bahkan saat sedang tidak memiliki banyak harta. Beliau mengajarkan agar umat Islam yang mampu menyembelih hewan qurban setiap Idul Adha.

4. Dari Kisah Menjadi Syariat: Hikmah yang Terus Hidup
Ibadah qurban bukan sekadar ritual tahunan, tetapi perwujudan:
  • Syukur atas rezeki
  • Empati kepada kaum miskin
  • Pembersih jiwa dari cinta dunia berlebihan
  • Melalui daging yang dibagikan, qurban juga menjadi sarana memperkuat ukhuwah (persaudaraan) dan keadilan sosial.
5. Penutup: Qurban, Jejak Ibrahim yang Hidup Dalam Diri Kita
Kisah Nabi Ibrahim bukan hanya dongeng masa lalu, tetapi cermin bagaimana kita menghadapi ujian hidup hari ini. Apakah kita siap mengorbankan waktu, ego, atau harta demi Allah.

Setiap tetes darah hewan qurban adalah simbol dari ketundukan kita kepada Sang Pencipta, sebagaimana Ibrahim AS telah mencontohkannya dengan sempurna.

لَنْ يَّنَالَ اللّٰهَ لُحُوْمُهَا وَلَا دِمَاۤؤُهَا وَلٰكِنْ يَّنَالُهُ التَّقْوٰى مِنْكُمْۗ كَذٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ ۗ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِيْنَ
"Sesungguhnya Allah tidak menerima darah dan daging dari qurban, tetapi Dia menerima ketakwaan dari kalian." (QS. Al-Hajj: 37)
Perisai Mukmin Youtube Channel

Kamis, 05 Juni 2025

Keutamaan Bulan Dzulhijjah dan Amalan yang Dianjurkan

Keutamaan Bulan Dzulhijjah dan Amalan yang Dianjurkan

Keutamaan Bulan Dzulhijjah dan Amalan yang Dianjurkan
Bulan Dzulhijjah adalah salah satu bulan yang dimuliakan dalam Islam. Di dalamnya terdapat 10 hari pertama yang paling utama, bahkan lebih baik dari hari-hari lainnya dalam setahun. Allah SWT mengangkat derajat bulan ini karena banyaknya ibadah besar yang terjadi di dalamnya, seperti haji, kurban, dan puasa Arafah.

🌙 1. Termasuk Bulan Haram

Dzulhijjah adalah salah satu dari empat bulan haram (Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab). Di bulan-bulan ini, umat Islam dianjurkan menjauhi dosa dan memperbanyak amal saleh.

🌟 2. 10 Hari Pertama yang Paling Dicintai Allah

Rasulullah SAW bersabda:
“Tidak ada hari-hari yang amal saleh di dalamnya lebih dicintai Allah melebihi sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.” (HR. Bukhari)

🕋 3. Waktu Pelaksanaan Ibadah Haji

Ibadah haji yang merupakan rukun Islam kelima, hanya bisa dilaksanakan di bulan ini. Puncaknya adalah wukuf di Arafah pada 9 Dzulhijjah.

🥩 4. Disyariatkan Ibadah Kurban

Pada 10 Dzulhijjah (Idul Adha), umat Islam diperintahkan menyembelih hewan kurban sebagai bentuk ketaatan dan mengenang kisah Nabi Ibrahim AS dan Ismail AS.

🌄 5. Disunnahkan Puasa Arafah

Puasa pada tanggal 9 Dzulhijjah (Arafah) memiliki keutamaan besar. Rasulullah bersabda:
“Puasa Arafah dapat menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” (HR. Muslim)

✅ Amalan yang Dianjurkan:

  • Berpuasa (terutama tanggal 1–9 Dzulhijjah)
  • Takbir, tahlil, dan tahmid setiap hari
  • Bersedekah dan memperbanyak ibadah
  • Bertobat dan memperbanyak doa
  • Menyembelih kurban

💡 Penutup

Bulan Dzulhijjah adalah momentum emas untuk memperbanyak amal shalih dan mendekatkan diri kepada Allah. Jangan sia-siakan kesempatan ini untuk meraih pahala berlimpah!

Perisai Mukmin Youtube Channel