Kamis, 12 Juni 2025

Sultan Mahmud Ghoznawi Sultan Pertama di Dunia

 SULTAN MAHMUD GHOZNAWI SULTAN PERTAMA  DI DUNIA

Penguasa pertama dalam sejarah dunia yang mengenakan gelar sultan secara resmi adalah Sultan Mahmud Ghaznawi, pendiri Dinasti Ghaznawiyah.”

Sultan Mahmud Al-Ghoznawi Sultan Pertama di Dunia
Sultan
adalah gelar kebangsawanan dengan beberapa makna sejarah. Awalnya, itu adalah kata benda abstrak bahasa Arab yang berarti ‘kekuatan’, ‘kekuasaan’, ‘pemerintahan’, atau ‘kediktatoran’, berasal dari kata dasar (masdar) ‘sultoh’ ( سلطة), yang berarti ‘kekuasaan’ atau ‘kekuatan’. Kemudian, sultan digunakan sebagai gelar penguasa tertentu yang mengklaim kedaulatan penuh secara praktis, tanpa mengklaim kekhalifahan secara keseluruhan, atau untuk merujuk pada seorang gubernur yang kuat dari sebuah provinsi di dalam kekhalifahan. Dinasti dan wilayah yang diperintah oleh sultan disebut sebagai kesultanan. Bentuk feminim sultan yang digunakan oleh orang Barat adalah ‘sultana’ atau ‘sultanah’; dalam beberapa referensi sultana bisa juga mengacu kepada istri seorang sultan, atau seorang sultan perempuan.

Dunia Islam mengenal nama-nama raja besar ternama yang memakai gelar sultan, misalnya saja Sultan al-Muzhafar Saifuddin Qutuz dari Dinasti Mamluk, Sultan Suleiman Agung dari Dinasti Ustmani (Ottoman), Sultan Salahuddin Ayyubi dari Dinasti Ayyubi, dan Sultan Malik Syah dari Dinasti Seljuk. Sementara itu, di Indonesia sendiri, meskipun sekarang sudah masuk ke dalam sistem kenegaraan Republik, beberapa wilayah masih menggunakan gelar kesultanan yang merupakan warisan monarki dari masa sebelum kemerdekaan, misalnya saja Kesultanan Yogyakarta dan Kesultanan Cirebon. Namun, sebenarnya siapakah Sultan pertama di dalam dunia Islam..?

Di dalam buku karya Riad Aziz Kassis yang berjudul The Book of Proverbs and Arabic Proverbial Works, dikatakan bahwa Khalifah Abu Ja’far Abdallah ibn Muhammad al-Mansur (714-775 M), atau biasa disebut Khalifah al-Mansur, khalifah ke-2 Dinasti Abbasiyah, memiliki gelar lain sebagai “Sultan Allah”. Makna sultan di masa itu adalah “bayangan Allah di muka bumi”. Meskipun demikian itu bukan titel resmi, secara resmi al-Mansur adalah seorang khalifah.
 
Penguasa pertama dalam sejarah dunia yang mengenakan gelar sultan secara resmi adalah Sultan Mahmud Ghaznawi, pendiri Dinasti Ghaznawiyah. Gelar tersebut disematkan kepadanya dengan makna bahwa dia merupakan seorang Khalifah Muslim, pemimpin tertinggi dalam otoritas keagamaan, dan pemimpin politik dari sebuah wilayah kekuasaan yang sangat luas, yang mana mencakup Iran, Turkmenistan, Uzbekistan, Kyrgyzstan, Afghanistan, Pakistan, dan India utara pada hari ini.

Pada tahun 971 M, Yamin ad-Dawlah Abdul-Qasim Mahmud bin Sabuktegin, atau lebih dikenal sebagai Mahmud Ghaznawi, lahir di kota Ghazna, sekarang di Afghanistan tenggara. Ayahnya, Abu Mansur Sabuktegin, adalah orang Turki, mantan prajurit Mamluk dari Ghazni.

Kata “Mamluk” berasal dari bahasa Arab yang berarti “seseorang yang dimiliki”, maknanya setara dengan kepemilikan terhadap barang tertentu, atau bila disederhanakan, Mamluk artinya adalah “budak”. Meskipun Mamluk secara faktanya memang budak, namun penting untuk diketahui bahwa gambaran tentang sosok Mamluk jauh dari gambaran umum tentang budak

Mamluk adalah prajurit elit yang tadinya merupakan tawanan perang, kemudian dipekerjakan untuk mengabdi secara militer kepada seorang khalifah. Pemanfaatan orang-orang Mamluk sebagai komponen utama tentara Muslim, yang nantinya akan menjadi ciri khas peradaban Islam, pertama kalinya terjadi pada awal abad ke-9. Praktek ini dimulai di Baghdad oleh khalifah Abbasiyah pada waktu itu, al-Muʿtaṣim (833–842). Segera setelahnya praktek ini menjadi menyebar ke seluruh dunia Muslim.

Masa Kecil Mahmud Ghaznawi
Ketika Dinasti Samaniyah (819–999), yang berbasis di Bukhara (sekarang di Uzbekistan) mulai runtuh, Sabuktegin mengambil alih kekuasaan di kampung halamannya di Ghazni pada tahun 977. Dia kemudian melanjutkan penaklukkan terhadap kota-kota besar Afghanistan lainnya, di antaranya Kandahar. Kerajaan yang dibangunnya membentuk inti dari kekuasaan Dinasti Ghaznawiyah yang akan datang, dan dia dinobatkan sebagai pendiri tonggak awal dinasti. Ibu Mahmud kemungkinan adalah istri muda Sabuktegin yang tadinya merupakan seorang budak, namun siapa namanya tidak diketahui.

Tidak banyak yang diketahui tentang masa kecil Mahmud. Informasi yang diketahui hanya bahwa dia memiliki dua adik laki-laki. Adiknya yang pertama bernama Ismail, dia merupakan anak dari istri pertama Sabuktegin. Namun, faktanya Ibunda Ismail adalah seorang wanita berdarah bangsawan yang terlahir sebagai manusia merdeka. Persoalan keturunan ini nantinya akan menjadi kunci dari proses suksesi yang terjadi ketika Sabuktegin meninggal selama kampanye militer pada tahun 997.

Di pembaringan, Sabuktegin menyerahkan tahta kekuasaan kepada Ismail. Mahmud, waktu itu berusia 27 tahun, yang merupakan anak pertama, dan secara militer dan diplomatik sebenarnya lebih unggul, dilewati oleh adiknya tirinya sendiri. Besar kemungkinan alasan Sabuktegin memilih Ismail adalah karena dia adalah satu-satunya anak yang lahir dari keturunan bangsawan dari pihak Ibunya. Tidak seperti Mahmud dan adik ketiganya yang baik ayah maupun ibunya berasal dari kalangan budak.


Ketika Ismail diangkat menjadi raja baru, Mahmud Ghaznawi sedang ditempatkan di Nishapur (sekarang di Iran). Mendengar adiknya naik tahta, dia segera melakukan perjalanan ke timur, menentang pengangkatan Ismail. Maka terjadilah perang, Mahmud dapat mengalahkan Ismail, adiknya sendiri, pada tahun 998. Mahmud kemudian mengambil alih Ghazhni, mengangkat dirinya sendiri menjadi raja, dan menempatkan adik laki-lakinya menjadi tahanan rumah selama sisa hidupnya. Setelah naik tahta Mahmud akan terus memerintah sampai kematiannya pada tahun 1030.

Setelah menjadi sultan, Mahmud memperluas wilayah kekuasaan Dinasti Ghaznawiyah ke wilayah-wilayah yang dulunya merupakan daerah kekuasaan kerajaan kuno, yaitu Kerajaan Kushan. Dalam kampanyenya, dia menggunakan teknik dan taktik militer khas Asia Tengah, yang terutama mengandalkan kavaleri berkuda yang sangat mudah berpindah-pindah, yang dipersenjatai dengan busur pendek (compound bows).

Invasi ke India
Pada tahun 1001, Mahmud mengalihkan perhatiannya ke tanah subur Punjab (sekarang di India), yang terletak di tenggara kesultanannya. Wilayah yang menjadi targetnya adalah wilayah kekuasaan milik raja-raja Hindu Rajput yang terkenal ganas namun mereka tidak bersatu dan terpecah-pecah, mereka menolak untuk bekerja sama untuk membentuk pertahanan yang solid atas ancaman kerjaan Muslim yang akan masuk melalui Afghanistan. Selain itu, orang-orang Rajput menggunakan kombinasi infantri dan kavaleri, sebuah bentuk formasi yang tangguh tetapi lebih lambat dari pasukan berkuda Ghaznawiyah.

Juga dilaporkan, mereka terlalu mengandalkan gajah, sementara itu, pasukan Mahmud sudah lebih modern, mereka memiliki sistem organisasi, disiplin, dan ikatan yang lebih baik.

Selama tiga dekade berikutnya, Sultan Mahmud melakukan lebih dari selusin serangan militer ke kerajaan-kerajaan Hindu dan Ismailiyah di utara. Sebelum kematiannya, kesultanannya membentang sampai ke pantai Samudra Hindia di Gujarat selatan.

Mahmud menunjuk raja-raja lokal untuk menjadi bawahan yang memerintah atas namanya di banyak daerah yang telah ditaklukkan. Selain itu dia juga membuka hubungan baik dengan masyarakat non-Muslim. Dia menyambut para prajurit dan perwira Hindu dan Ismailiyah yang ingin bergabung ke dalam pasukannya. Namun, karena ekspansi dan peperangan yang terus-menerus, pada tahun-tahun terakhir masa pemerintahannya, kondisi keuangan Dinasti Ghaznawiyah mulai sulit. Akibatnya Mahmud memerintahkan pasukannya untuk menyerang kuil-kuil Hindu dan menjarah sejumlah besar emas.

Pada tahun 1026, Sultan Mahmud yang sudah berusia 55 tahun berangkat untuk menyerang negara bagian Kathiawar, yang berada di pantai barat India (Laut Arab). Pasukannya melaju ke ujung selatan Somnath, yang terkenal dengan kuil yang indah Dewa Siwa.

Meskipun pasukan Mahmud berhasil menduduki Somnath, dan menjarah dan menghancurkan kuil, namun berita buruk datang dari Afghanistan. Sejumlah suku Turki telah bangkit untuk menantang pemerintahan Ghaznawiyah, termasuk di antaranya orang-orang Turki Seljuk, yang telah merebut Merv (Turkmenistan) dan Nishapur (Iran). Pada saat Mahmud meninggal pada 30 April 1030, para pemberontak ini sudah mulai menggerogoti perbatasan-perbatasan wilayah kekuasaan Kesultanan Ghaznawiyah. Sultan Mahmud meninggal pada usia 59 tahun.

Warisan Sultan Mahmud
Sultan Mahmud menghabiskan sebagian besar hidupnya berjuang melawan orang-orang yang dia anggap “kafir” yaitu Hindu, Jain, Buddha, dan kelompok minoritas Muslim seperti Syiah Ismailiyah. Kenyataannya, kaum Ismailiyah tampaknya telah menjadi sasaran khusus dari kemarahannya, karena Mahmud (dan penguasa di atasnya, yang sebenarnya hanya sebatas formalitas, yakni Kekhalifahan Abbasiyah) menganggap mereka adalah pelaku bid’ah.

Meskipun demikian, Mahmud Ghaznawi tampaknya lebih toleran terhadap orang-orang non-Muslim selama mereka tidak menentangnya secara militer. Toleransi warisan Mahmud relatif akan terus berlanjut ke kerajaan Muslim berikutnya di India: Kesultanan Delhi (1206-1526) dan Kekaisaran Mughal (1526-1857).

Dalam hal keilmuan, Sultan Mahmud dikenal menyukai buku dan menghormati orang-orang terpelajar. Di jantung kekuasaanya, Ghazni, dia membangun perpustakaan untuk menyaingi istana kekhalifahan Abbasiyyah di Baghdad (sekarang di Irak). Mahmud juga mensponsori pembangunan universitas, istana, dan masjid agung, menjadikan ibukotanya sebagai permata di Asia Tengah.

Rakyatnya mengenal Mahmud sebagai seorang yang saleh dan sangat suka belajar. Pada masa Mahmud berkuasalah wilayah Persia dilaporkan mengalami kemajuan pesat. Salah satu indikasinya adalah dengan diterbitkannya buku yang berjudul Shahnameh (Kitab para Raja) karya penyair Persia, Abul-Qasim Firdausi Tusi (940–1020)

Mahmud meninggalkan berbagai warisan. Dinastinya akan bertahan sampai tahun 1187, meskipun sudah mulai runtuh dari barat ke timur bahkan sebelum kematiannya. Pada tahun 1151, Sultan Ghaznawiyah penerus Mahmud, Bahram Shah, kehilangan Ghazni, dan melarikan diri ke Lahore (sekarang di Pakistan).

SULTAN YANG GEMAR MEMPERBANYAK SHALAWAT

Sultan Mahmud al-Ghoznawi sepanjang hidupnya raja selalu menyibukkan dirinya dengan membaca sholawat kepada Nabi Muhammad Saw.

Setiap selesai sholat subuh, sang raja membaca shalawat sebanyak  300.000 kali. Begitu asyiknya raja membaca shalawat sebanyak itu, seolah-olah beliau lupa akan tugasnya sebagai seorang raja, yang dipundaknya tertumpu berbagai tugas negara dan berbagai macam harapan rakyatnya yang bergantung kepadanya. Sehingga kalau pagi tiba, sudah banyak rakyatnya yang berkumpul di istana menunggu sang raja, untuk mengadukan persoalannya.

Namun sang raja yang ditunggu-tunggu tidak kunjung hadir. Sebab sang raja tidak akan keluar dari kamarnya, walau hari telah siang, jika belum menyelesaikan wirid shalawatnya. Setelah kejadian ini berlangsung agak lama, pada suatu malam beliau bermimpi bertemu dengan Rosululloh SAW.

Didalam mimpinya, Rasulullaah Saw bertanya, “Mengapa kamu berlama-lama di dalam kamar.? Sedangkan rakyatmu selalu menunggu kehadiranmu untuk mengadukan berbagai persoalan mereka,”

Raja menjawab, “Saya duduk berlama-lama begitu, tak lain karena saya membaca shalawat kepadamu sebanyak tiga ratus ribu kali, dan saya berjanji tidak akan keluar kamar sebelum bacaan sholawat saya selesai,”

Rasulullaah SAW lalu berkata, “Kalau begitu kasihan orang-orang yang punya keperluan dan orang-orang lemah yang memerlukan perhatianmu. Sekarang aku akan ajarkan kepadamu sholawat yang apabila kamu baca sekali saja, maka nilai pahalanya sama dengan bacaan 100.000 kali shalawat. Jadi kalau kamu baca tiga kali, pahalanya sama dengan tiga ratus ribu kali shalawat yang kamu baca,”

Rosululloh SAW lalu membacakan lafazh shalawat yang kemudian dikenal dengan nama shalawat Sultan.

Akhirnya, raja Mahmud lalu mengikuti anjuran Rasulullaah SAW tersebut, yaitu membaca shalawat tadi sebanyak tiga kali. Dengan cara demikian, sholawat dapat beliau baca dan urusan negara dapat dijalankan dengan sempurna. Setelah beberapa waktu mengamalkan sholawat itu, raja kembali bermimpi bertemu Rosululloh Saw.

Kemudian Rasulullaah Saw bertanya kepadanya, “Apa yang kamu lakukan, sehingga malaikat kewalahan menuliskan pahala amalmu?”

Raja menjawab, “Saya tidak mengamalkan sesuatu, kecuali mengamalkan sholawat yang anda ajarkan kepada saya itu.”

Perisai Mukmin Youtube Channel

0 comments:

Posting Komentar