Namun di masa-masa awal, jalan terjal harus ditempuh ulama karismatik tersebut. Di antaranya, sempat mau dibunuh orang.
Pada tahun 1960-an Abah Guru membuka majelis di kediaman dan musholla (Darul Aman) di desa Keraton Martapura. Semula majelis tersebut dimaksudkan untuk menunjang pelajaran para santri yang terbatas waktunya di pesantren.
Namun setelah memutuskan berhenti mengajar di Pondok Pesantren Darussalam (setelah 5 tahun di sana), majelis ini makin tumbuh besar. Jemaah yang hadir tidak hanya dari kalangan santri, tapi juga dari masyarakat awam. Sehingga, kitab yang dibaca pun bervariasi.
Sebagaimana dikutip dari buku "Figur Ulama Karismatik Abah Guru Sekumpul", sebelumnya kitab yang dibaca adalah kitab-kitab ilmu alat seperti Al-Jurumiyah, Mukhtashar Jiddan, Mutammimah, Qathrunnada, dan Ibnu Aqil.
Setelah bertambah jamaah dari masyarakat awam, beliau kemudian membaca banyak kitab. Di antaranya; Kitab Sabilal Muhtadin, Syarah Jauharatut Tauhid, Ihya Ulumuddin, Tafsir Jalalain, Marahul Labid, Kitab Bukhari, dan Mawaidz Usfuriyah.
Nah, ketika membaca kitab Mawaidz Usfuriyah inilah, Abah Guru Sekumpul sempat hendak dibunuh orang. Seperti diceritakan dalam buku "Abah Guru Sekumpul dalam Kenangan", saat itu Abah Guru sedang membicarakan sejarah Sayyidina Ali bin Abi Thalib Karomallahu Wajhah yang terlambat mengikuti shalat shubuh karena menghormati (tidak mendahului) orang tua yang berjalan di depannya.
Ketika sampai masjid, orang tua itu ternyata tidak singgah ke masjid. Karena memang bukan orang Islam. Saat menceritakan sejarah itu, ada orang yang tersinggung dengan perkataan Abah Guru. Orang itu mengira, Abah Guru menyindir dirinya yang tidak ikut shalat shubuh berjamaah.
Orang itu pun datang ke Musholla Darul Aman dengan membawa dua buah sajam (bayonet) di tangannya. Ketika sampai di belakang Abah Guru, orang itu kemudian mengangkat sajam tersebut untuk menebas tubuh Abah Guru yang sedang menggelar majelis.
Abah Guru melihat bayangan seseorang dibelakang beliau. Sehingga beliau pun menoleh. Saat Abah Guru menoleh, orang tersebut seketika mematung tak berdaya. Melihat keadaan itu, Abah Guru pun mengakhiri majelis dan pulang ke rumah.
Tak lama kemudian terdengar kabar, orang itu meninggal dunia dan ketika dimandikan tubuhnya terlihat seperti terkena cakar besar.
Cerita tersebut pun kemudian tersebar hingga ke telinga para ulama. Satu di antaranya adalah ulama sepuh bernama Guru Muhdar. Beliau berfirasyat, "Mesti ada amalannya". Sehingga beliau kerap bertamu ke kediaman Abah Guru, hanya untuk menanyakan hal tersebut.
Namun Abah Guru mengaku tidak memiliki amalan yang dimaksud Guru Muhdar. Beliau hanya bertawakkal kepada Allah







0 comments:
Posting Komentar