Sabtu, 06 April 2019

Dialog Akal Dan Nafsu Dengan Allah

Dialog Akal Dan Nafsu Dengan Allah
AKAL DAN NAFSU
Allah SWT menciptakan akal dan nafsu kemudian memerintahkan keduanya untuk menghadap.
Akal ditanya oleh Allah SWT. :Man ana wa man anta..?" (Siapa aku dan siapa kamu).
Akal menjawab : "Allaahu robbi". (Allah Tuhanku Yang Maha Gagah Perkasa sedangkan aku hanya ciptaanMu yang lemah dan tidak ada daya dan upaya melainkan dengan izin-Mu).
 Jawaban ini merupakan sikap tawadhu dari akal. Berbeda dengan nafsu ketika ditanya dengan pertanyaan yang sama oleh Allah: Man ana wa man anta..?
Jawaban akal adalah : Ana, ana. Anta, anta. (Aku adalah aku dan engkau adalah engkau).
 Jawaban ini merupakan sebuah sikap takabur (kesombongan) dan egoistis dari sang akal.
Mendengar jawaban dari akal seperti itu, maka Allah mengirimkannya kedalam dua lautan yaitu lautan lapar (bahruju) dan lautan dzikir (bahru dzikri) lamanya 100 tahun (dalam riwayat lain ada yang menyebutkan 1000 tahun).
Ketika dikeluarkan dari lautan lapar, akal masih menjawab dengan jawaban yang sama akhirnya Allah mengirimkannya kedalam lautan dzikir. Setelah itu barulah akal mengakui dan tunduk kepada Allah.
Pada bulan Ramadhan, kita dilatih untuk menahan haus, menahan lapar, menahan ngantuk, menahan pandangan dan hal-hal lainnya yang membatalkan puasa. Disamping itu, pada malam harinya kita jadikan untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan shalat-shalat sunat dan dzikir. Sehingga diharapkan nafsu kita yang jelek (nafsu amarah) bisa dikendalikan, bisa ditundukkan. Dzikir yang dapat menundukkan nafsu tersebut adalah dzikir yang ditanamkan oleh seorang Guru Mursyid yaitu dzikir Jahar dan dzikir Khofi. Mudah-mudahan pada setiap bulan ramadhan kita bisa memanfaatkan semua waktunya untuk beribadah kepada Allah. Karena untuk itulah manusia diciptakan.

Manusia itu dibagi menjadi 3 bagian:
Bagian pertama adalah milik Allah yaitu ruhnya. Apabila ruh sudah dipanggil oleh Allah maka tidak ada seorangpun yang dapat menahannya.
Bagian kedua adalah milik manusia itu sendiri. Apabila ia berbuat baik, maka kebaikan itu akan kembali kepada dirinya. Sebaliknya, jika ia berbuat jahat maka kejahatan itu akan kembali kepada dirinya.
Dan yang terakhir, manusia itu milik belatung. Badannya apabila ia sudah mati di dalam kubur, maka akan dimakan oleh belatung kecuali badan atau jasmaninya orang-orang yang selalu dzikir kepada Allah sehingga iman dan taqwanya menjadi pelindung dirinya.

Jauh sebelum diciptakannya Nabi Adam as, Allah telah menciptakan akal dan nafsu. Setelah akal dan nafsu diciptakan, mereka dipanggil untuk menghadap Allah, terjadilah dialog diantara mereka, sebagai berikut:
Allah : Wahai akal siapakah kamu dan siapakah aku...?
Akal : aku adalah ciptaanmu, makhlukmu. Engkau adalah penciptaku, Rabb sekalian alam

Tiba giliran nafsu ditanya dengan pertanyaan yang sama seperti akal
Allah : Wahai nafsu siapakah kamu dan siapakah aku....?
Nafsu : Aku adalah aku, kamu adalah kamu
Disebabkan jawaban nafsu tersebut, nafsu kemudian dimasukkan ke dalam neraka selama 100 hari. Setelah 100 hari. Ditanya kembali oleh Allah dengan pertanyaan yang sama.
Allah : Wahai nafsu siapakah kamu dan siapakah aku....?
Nafsu : Aku adalah aku dan engkau adalah engkau
Dijawab dengan jawaban yang sama sehingga nafsu kembali dimasukkan ke dalam neraka selama 100 hari lagi. Setelah berlalu 100 hari ditanya kembali.
Allah : Wahai nafsu siapakah kamu dan siapakah aku...?
Nafsu : Aku adalah aku dan kamu adalah kamu
Tak jera juga rupanya nafsu menjawab dengan jawaban yang sama. Kini, nafsu dimasukkan kembali ke dalam neraka selama 100 hari tetapi neraka yang berbeda dari sebelumnya yakni neraka lapar.

Selang waktu berlalu selama 100 hari. Tiba waktu ditanya kembali nafsu oleh Allah.
Allah : Wahai nafsu siapakah kamu dan siapakah aku...?
Nafsu : Aku adalah ciptaanmu, Engkau adalah penciptaku
Akhirnya, nafsu mengakui juga bahwa dia adalah ciptaanNya walaupun sebelumnya harus mengikuti ego yang kuat tak mau mengakui keberadaan Sang Pencipta. Tetapi, setelah dimasukkan ke dalam neraka lapar, nafsu tersadar dan mengakui bahwa dia adalah ciptaan Allah dan Allah adalan peciptanya.
Begitulah wataknya nafsu sejak diciptakan, memiliki ego yang tinggi dengan keakuan yang tinggi pula sehingga berani menentang apa yang dikatakan oleh Allah. Sama halnya, seperti yang terjadi disekitar kita. Orang-orang yang menuruti hawa nafsunya tentu dia akan melanggar apapun yang telah dilarang oleh Allah untuknya. Sedangkan orang-orang yang bisa mengendalikan nafsu dan akalnya berfungsi secara sehat, dia akan mematuhi segala perintah dan menjauhi semua larangan dari Allah.
Puasa merupakan salah satu cara untuk menjinakkan nafsu yang begitu besar ego dan keakuan akan dirinya tanpa mengenal Sang Pencipta. Puasa inilah yang akan menjadi sarana bagi manusia untuk semakin mendekati diri dan meningkatkan amal ibadah yang ditujukan kepada Allah.
Lewat puasa, manusia diajarkan untuk mampu mengontrol dan mengendalikan nafsu. Tak boleh makan, tak boleh minum, berhubungan suami isteri dan larangan lainnya sejak terbit fajar hingga tenggelam matahari.
Dengan berpuasa secara tidak langsung manusia telah masukkan nafsu ke dalam neraka lapar sebab tak ada satu pun makanan dan minuman yang masuk ke dalam tubuh manusia ketika sedang menjalankan ibadah puasa.
Hasil akhir yang diharapkan pun sama seperti kejadian yang dialami nafsu pasca awal diciptakan agar sang diri yang memiliki nafsu tersebut mau mengakui akan beradaan Sang Pencipta dan senantiasa menyembahNya.
Jika di ibaratkan hewan, nafsu adalah hewan yang sangat liar. Maka, dari itu manusia diminta untuk memberikan tali kekang agar nafsu di dalam dirinya tidak liar kesana-kemari dan manusia pun bisa mengendalikannya.
Di dalam tafsir Al-Azhar mahakarya dari Buya Hamka pada surah Al-Fajr, dijelaskan bahwa nafsu terbagi menjadi tiga tingkatan yakni:
Nafsul Ammarah, nafsu yang selalu mendorong agar berbuat sesuatu diluar pertimbangan akal yang tenang. Manusia banyak yang terjerumus ke dalam lembah kesesatan akibat mengikut nafsu yang satu ini.
Setelah mengikuti Nafsul Ammarah timbullah rasa penyesalan diri. Inilah yang disebut dengan Nafsul Lawwamah. Kita lebih mengenalnya di dalam keseharian dengan istilah tekanan batin atau merasa berdosa.
Dari pengalaman dua tingkatan nafsu tersebut yakni Nafsul Ammarah dan Nafsul Lawwamah, maka manusia mampu mencapai tingkatan Nafsul Muthmainnah yakni jiwa yang mencapai tenang dan tentram akibat digambleng terlebih dahulu oleh penderitaan dan pengalaman.
Jiwa yang telah melalui banyak jalan berliku sehingga tidak mengeluh lagi ketika mendaki sebab yakin setelah pendakian pasti ada penurunan. Setelah itu, tidak gembira melonjak kembali ketika penurunan sebab setelah penurunan pasti ada pendakian kembali. Itulah yang disebut jiwa yang telah mencapai iman disebabkan oleh kematangan disaat ditimpa berbagai percobaan.
Jiwa inilah yang akan menjadi dua sayap dalam kehidupan manusia yakni syukur ketika mendapatkan kenikmatan dari Allah dan bersabar ketika memperoleh cobaan dari-Nya.
Semoga dengan berpuasa, kita dapat menjadikan akal sebagai imam nafsu agar mudah mengendalikan dan mengontrol nafsu tetap berada di jalan Allah dengan melaksanakan berbagai kebaikan dan amal ibadah di dalam aktivitas sehari-hari.
Bukan sebaliknya, nafsu yang menjadi imam akal. Maka, hidup manusia akan tanpa arah dan tak jelas jika hanya mengimami nafsu yang pada hakikatnya banyak menjerumuskan manusia ke lembah kenistaan dan semakin menjauhkan manusia kepada Sang Kholiq.


NAFSU
Alangkah susahnya mendidik nafsuku, yang tidak melihat kebenaranMu
Ya Allah Tuhanku, bimbinglah hambaMu di dalam mendidik jiwaku ini.

Saudaraku, aku teringat kisah tentang akal dan nafsu ketika pertama kali diciptakan Allah. Akal dihadapkan kepada Allah dan ditanya siapa Allah, maka akal pun menjawab bahwa Allah adalah Tuhannya dan ia adalah hamba-Nya. Setelah itu nafsu dihadapkan kepada Allah dan ditanya siapa Allah. Maka nafsu menjawab, “Engkau ya engkau, aku ya aku.” Dan Allah memasukkan nafsu dalam neraka. Kemudian nafsu dihadapkan kembali dan ditanya seperti semula. Namun lagi-lagi nafsu menjawab hal yang sama pula. Nafsu pun dimasukkan kembali ke dalam neraka. Begitu seterusnya hingga 3 kali nafsu menjalani siksa neraka, barulah ia mengakui bahwa Allah adalah Tuhannya dan ia adalah hambaNya.
Saudaraku, apa keistimewaan manusia dibandingkan mahluk Allah yang lain..? Manusia dikaruniai akal dan nafsu dalam dirinya. Berbeda dengan malaikat yang hanya dikaruniai akal saja, juga binatang yang hanya dikaruniai nafsu saja. Sehingga manusia digambarkan bisa lebih utama dari malaikat jika ia sanggup mengendalikan hawa nafsunya, dan manusia bisa lebih hina dari binatang jika akalnya dikalahkan oleh hawa nafsunya.
Para ulama membagi nafsu menjadi 3 yaitu nafsu ammarah, nafsu lawwamah, dan nafsu mutmainah. Manusia yang memiliki nafsu ammarah sepanjang hidupnya akan dikendalikan oleh hawa nafsunya. Orang-orang semacam ini tak ubahnya seperti binatang. Manusia yang memiliki nafsu lawwamah, akan labil. Kadang ia mengikuti akalnya, kadang mengikuti nafsunya. Namun kecenderungan mengikuti nafsunya lebih besar daripada akalnya. Yang terakhir, manusia yang memiliki nafsu mutmainah. Nafsunya mengikuti akalnya sehingga ia selalu berhati-hati tidak terburu-buru dan gegabah menuruti keinginan nafsunya. Manusia-manusia inilah yang diseru Allah untuk memasuki surga-Nya. Mari kita simak QS Al Fajri (89): 27-30: “Wahai nafsul mutmainah (jiwa yang tenang), kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam syurga-Ku.” Alangkah indahnya orang yang memiliki nafsu mutmainah, bahkan Allah Ta’ala pun memanggil-manggil mereka untuk masuk dalam surgaNya.
Saudaraku, apakah saat ini kita telah menjadi tuan bagi nafsu kita...? Atau jangan-jangan saat ini kita justru masih diperbudak nafsu kita. Tengoklah dalam kehidupan sehari-hari. Pada saat seruan Allah yang mulia berkumandang tanda Maghrib tiba -saat itu pula serial sinetron Sholeha sedang diputar- sudahkah kita segera mengambil air wudhu dan melaksanakan sholat jamaah? Atau justru kita menanti hingga iklan TV datang baru kemudian kita mengambil air wudhu dan mengerjakan/ mendirikan sholat setengah terburu-buru karena takut filmnya sudah mulai lagi. Rasa-rasanya kalau kita minta surga kok belum pantas ya? Itu baru 1 hal sepele. Mari kita tengok yang lain. Saat tengah malam tiba-tiba kita terbangun dan secepat itu ingat bahwa malam itu ada pertandingan sepak bola antara Manchester United melawan Intermilan. Berjam-jam kita tonton tv dengan asyiknya. Kita lupa pada kantuk kita. Pernahkah kita tiba-tiba bangun pada malam hari, segera ingat Allah, segera ingat tahajjud kemudian segera mendirikannya dan berjam-jam kita bermunajat kepada Allah dalam urai air mata dan bertobat kepadaNya...?
Kita punya uang 10.000, tiba-tiba kita ingin jajan bakso. Secepat itu uang kita berpindah kepada penjual bakso dan semangkok bakso sudah bisa kita nikmati. Namun pernahkah pada saat kita punya 10.000 ingat infak sodaqoh, dan secepat itu pula uang kita berpindah ke kotak infak...? Rasanya uang 20.000 kecil bila dibawa ke supermarket, namun sangat besar jika dibawa ke masjid untuk di infakkan. Subhanallah, saya jadi teringat suatu ketika Rasulullah sedang mengimami sholat, kemudian seakan-akan Beliau mempercepat sholatnya. Begitu sholat usai, Beliau langsung masuk rumah Beliau tidak berdzikir dulu sebagaimana biasanya. Para sahabat heran, ada apa gerangan...? Rupanya hari itu Rasulullah SAW mendapat hadiah berupa beberapa uang dinar. Dan Rasulullah tidak ingin uang tersebut berlama-lama ada di dalam rumahnya. Rasulullah saw mengambil uang tersebut ba’da sholat dan segera membagi-bagikannya kepada para sahabatnya. Sungguh teladan yang mulia.
Saudaraku, nafsu akan terus memperbudak kita jika tidak kita paksa. Mari kita simak bagaimana orang-orang beriman telah memaksa nafsu mereka dalam As Sajdah (32) 15-16: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Kami adalah orang-orang yang apabila diperingatkan dengan ayat-ayat Kami mereka menyungkur sujud dan bertasbih memuji Tuhannya, sedang mereka tidak menyombongkan diri. Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdoa kepada Allah dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.”
Wahai saudaraku, ingatlah bahwa kita adalah hamba Allah. Tidak sepatutnya seorang hamba (abdi) memperturutkan nafsunya di depan Majikannya. Tidak sepatutnya seorang hamba berbuat seenaknya sedangkan Majikannya selalu mengawasi. Maka marilah kita bina nafsu kita menjadi nafsu mutmainah dan insya Allah kita termasuk dalam golongan yang mendapat panggilan Allah untuk memasuki surgaNya. Amien.
Ya Allah, saksikanlah bahwa isi dalam blog ini telah hamba sampaikan kepada siapapun yang membaca artikel ini, Sadarkanlah hati kami agar tidak memperturutkan hawa nafsu yang tidak berguna.
Amiin yaa robbal aalamiin.
Semoga Bermanfaat

0 komentar:

Posting Komentar